Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi’nân/thuma’nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.
Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan
yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah
mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa
menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta
langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga
yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani
kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan
menikah atau menunda-nunda pernikahannya.
Menikahlah, Ibadah
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu
yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja,
agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan
tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya
adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan
ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan
langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman
Islam yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk
mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga
kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan
iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap
istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena
pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu,
jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana
dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang
sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam,
sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya
menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang
akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan
untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya,
setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan
islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam
keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak
anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta
pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai
istri, ibu, dan manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat
Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu
berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai),
rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua
itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan
yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.
Jadilah Sahabat yang
Menyenangkan
Pernikahan pada dasarnya merupakan akad
antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri
sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam
Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya,
begitu pula sebaliknya. Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang
siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka
demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar patner kerja
bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah
sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati suaminya.
Islam telah menjadikan istri sebagai
tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ
ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian
cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS ar-Rum [30]: 21).
Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan
merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya.
Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi
istrinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan
dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung
kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati,
bukan mencela; saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan
bersaing. Keduanya pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas
ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah
Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli
kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah ithmi’nân/tuma’ninah
(ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah
terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan
ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.
Untuk menjamin teraihnya ketengan dan
ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak
dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara
benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah
adalah suatu keniscayaan.
Bersabar atas Kekurangan
Pasangan
Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak
seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya
berlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada
berbagai problem baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan
keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara
suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian
kepada istri dan anak-anak; istri yang kurang pandai dan kurang kreatif
menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena
adanya kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang ‘kurang serius’ atau
‘kurang ulet’ mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman
agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu
oleh suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.
Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya
kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara
alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai
persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin
bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu,
dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan
ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada
Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.
Keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah.
Yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan
suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah untuk ibadah dan
untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi
masalah apapun yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar
apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.
Islam telah mengajarkan bahwa manusia
bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shûm (terpelihara dari berbuat
maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah
yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya
banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri) pun demikian, memiliki
banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan
oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam
kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar!
Sabar adalah salah satu penampakan akhlak
yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah
Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat:
QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).
Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah
kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan
seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam
menghadapi ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada
‘kekurangan’ pasangan (suami atau istri) kita.
Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi
‘kekurangan’ pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama: Jika kekurangan itu berkaitan
dengan kemaksiatan yang mengindikasikan
adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar larangan Allah Swt.
Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf
serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera
meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: suami tidak berlaku makruf kepada
istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka
mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat
fardhu, enggan menuntut ilmu, atau malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada
istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan
tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt),
sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktivitas amar makruf
nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan
oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan
mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan
pasangan kita kepada Allah Swt.
Kedua: Jika
kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya
dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri.
Contoh:
·
suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek;
·
miskin akan pujian terhadap istri, padahal sang
istri mengharapkan itu;
·
istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah
berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami
adalah orang yang apik dan rapi;
·
istri kurang bisa memasak walaupun dia sudah
berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik;
·
suami “cara bicaranya” kurang lembut dan
cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri;
·
istri tidak bisa berdandan untuk suami, model
rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya.
Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk
mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama
pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka
terimalah itu dengan lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt.
(Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika
dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang
lain. (HR Muslim).
Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami
oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta
kasih, ketenteraman, dan langgeng.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawab.
(Nurul Husna, Aktivis Hizbut
Tahrir, Ibu Rumah Tangga)
Sumber : HTI Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar