Sumber Ajaran Islam: Al-Quran, Hadits, Ijtihad
SUMBER Ajaran Islam itu ada tiga, yakni Al-Quran, Hadits (As-Sunnah), dan Ijtihad. Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.
Sumber ajaran Islam pertama dan kedua (Al-Quran dan Hadits/As-Sunnah)
langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga
(ijtihad) merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Sumber Ajaran Islam: Al-Quran
Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan
‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah
‘bacaan’ itu”.
Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan (akidah/tauhid/iman),
peribadahan (syariat), dan budi pekerti (akhlak).
Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar
pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Al-Quran membenarkan
Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya.
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang
ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).
Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang
dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin
Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin
Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai
Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf Utsmani.
Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau "kebiasaan" (traditions). Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan/persetujuan serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw.
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka
menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang
kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian
berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu
Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).
“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud).
Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan)
Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat
dan berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah
yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai
takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa
iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat
dan salam.
Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya
menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar
ucapan-ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran).
Karenanya, seluruh Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau
hapalan para sahabat.
Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100
H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur
(136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di
antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu
Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis Ikhtilaful Hadits,
Al-Um, dan As-Sunnah.
Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000
Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini
adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan
Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab
Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari
berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian
diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian
diseleksinya.
Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan
koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih
Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam
Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan
Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas
suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan
As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah
Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat
Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi
Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi
saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu
terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan
petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus
meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari
kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin
timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa
yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah
kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat
setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan
tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan
yang lurus!”
Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia
menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan
menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan
akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.
Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya
disebut Ijma’ atau kesepakatan. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).***
Referensi:
- Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pustaka Bandung, 1978.
- Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989
- Zainab Al-Ghazali, Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta, 1995
- H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar