Mempunyai putra putri yang saleh dan
saleha adalah cita-cita yang dimiliki oleh semua orangtua muslim.
Kesuksesan anak-anaknya harus diraih dunia dan akherat. Akherat adalah
hal yang utama karena dunia pasti akan mengikuti.
Seorang anak yang mereka cita-citakan adalah anak yang saleh. Sehingga dapat mengangkat derajat orangtuanya di hadapan Allah SWT dan dapat menyelamatkan orangtuanya di akherat nanti dengan doa-doanya. Jikalau di dunia mereka meraih jabatan atau pekerjaan yang baik, mereka adalah orang-orang yang berakhlak Islam. Melakukan pekerjaanya semata-mata untuk mencari Ridho-Nya dan takut hanya kepada Allah saja. Seorang anak yang mempunyai kesadaran bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Meskipun begitu, kesadaran akan Islam tidaklah mudah diterapkan dalam mendidik anak di rumah. Banyak kendala yang dialami oleh sebagian besar orangtua untuk mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh. Harus memulai dari usia berapa dan dengan cara apa ?
Salah satu contoh saja, dalam hal ini adalah bagaimana mengajarkan anak mempraktekkan ibadah rutin yaitu shalat. Dengan menjalankan shalat lima waktu, orangtua bisa mengajarkan kedisiplinan dan melatih kesabaran kepada anak.
Umur berapakah anak diajarkan shalat? Banyak orang tua beranggapan mengajarkan shalat anak tidak perlu terburu-buru. Saat mereka sudah menginjak dewasa, akan lebih mudah untuk menyuruhnya.
Tapi tahukah, Anda? Mengajarkan apa pun lebih baik dilakukan sedini mungkin. Selain sebagai pembiasaan juga agar anak lebih mudah diberi pengertian saat dia mencapai umur yang sesuai dengan wajibnya shalat.
Tidak perlu memaksa dengan ancaman. Kita mengajarkan kewajiban shalat kepada anak dengan cara yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Bukankah berdakwah atau menyampaikan ajaran Islam sudah dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya...
Dalam Firman Allah SWT :”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...” (Q.S. An-Nahl:125)
Mengajarkan anak pun tidak harus dengan kekerasan atau dengan cara memberi iming-iming hadiah. Boleh sekali-kali memberi mereka hadiah, akan tetapi saat mereka selesai melakukan perbuatan baik. Sedangkan pujian wajib kita berikan utuk apa pun perbuatan baik yang selesai mereka lakukan.
Hadiah bukan diberikan sebagai iming-iming atau imbalan yang akan mereka dapat jika berbuat baik. Agar saat mereka melakukan perbuatan baiknya bukan karena hadiah yang akan mereka dapat tetapi karena mendapatkan penghargaan dari apa yang sudah dilakukannya.
Tidak perlu menyuruh anak melakukan ibadah shalat dengan sempurna terlebih dahulu. Kita ajarkan sedikit demi sedikit sesuai kemampuan dan usia mereka. Sedari usia dini, anak kita perlihatkan bagaimana Ayah Ibunya melakukan shalat dengan menyertakan anak dalam setiap kegiatan shalat. Jika mereka masih bayi, kita sandingkan dengan tempat shalat. Jika sudah mampu berdiri bisa diajarkan pelan-pelan. Jangan merasa terganggu dengan ulah mereka. Karena Rasulullah SAW saja, tidak marah dan merasa terganggu shalatnya saat cucunya Husain naik ke punggung beliau. Beliau menunggu sampai Husain selesai bermain dan turun dari punggungnya. Lalu Beliau meneruskan kembali shalatnya. Jangan memarahi anak saat mereka tidak khusu’ dan tertawa-tawa pada saat shalat. Selalu memberi pengertian dengan baik tentang adab shalat. Disiplinkan lima waktu, jika mereka belum mampu tepat waktu jangan dipaksakan. Meskipun shalat subuh bisa mereka lakukan pukul 06.00 pagi, beri mereka pujian dan menasehatkan agar lain kali bisa bangun lebih pagi. Masalah bacaan shalat, bisa diberikan pada saat-saat bermain atau sebelum tidur secara rutin dengan membaca bersama-sama.
Mengajarkan kepada anak akan lebih mudah jika dengan hikmah atau mencontohkan terlebih dahulu. Orangtua adalah figur pertama yang akan ditiru oleh anak. Jika sebagai orangtua gagal mencontohkan yang baik, maka jangan berharap anak kita akan menjadi baik.
Banyak dari orangtua mengambil praktisnya saja. Anak-anak diserahkan kepada pondok atau sekolah-sekolah berbasis Islam dengan harapan anaknya akan menjadi anak yang saleh secara instan. Mereka tidak sadar, dengan menyekolahkan anak atau menyerahkan pada sebuah pondok, bukan jaminan akan berhasil membentuk kepribadian Islam pada anak tanpa adanya contoh dari orang tua. Jika orangtuanya tidak melakukan perbaikan akhlak dan ibadahnya, bagaimana mereka akan mengajak maupun mengoreksi akhlak dan ibadah anak. Anak bisa saja baik saat di sekolah atau di pondok, akan tetapi saat pulang dan menemui orangtuanya, ternyata aklak dan ibadah orang tua tidak lebih baik dari anak. Sholat subuh yang biasanya dilakukan secara tepat waktu di pondok, ternyata orang tua dirumah dalam melaksanakan sering kesiangan, selain protes mereka pada akhirnya akan meniru perbuatan yang dilakukan oleh orangtuanya. Seringkali keinginan orang tua agar putra putri yang saleh dan saleha tidak seiring dengan perbuatan yang harus mereka lakukan, orangtua hanya mau memakai paradigma kapitalis, “asal saya bisa bayar, saya akan minta ustadz atau ustadzah untuk mengajari ” tanpa berusaha untuk memperbaiki akhlak dan ibadahnya sebagai orang tua. Mereka lupa mengajarkan akhlak dan ibadah tidak bisa dengan menggunakan teknik pengajaran ilmu sains, pengajar dan pakar dipanggil lalu yang diajari bisa menyerap ilmu mereka sampai pandai. Ayah dan ibu tidak akan diprotes anak, gara-gara anak telah menjadi ahli nuklir sedangkan ayah dan ibunya masih seorang petani, tetapi mereka akan protes ketika anak telah memahami dan mengerjakan shalat dengan baik, sedangkan ayah dan ibunya tidak pernah shalat.
Contoh sederhana lainnya adalah saat ibu tidak melakukan shalat karena berhalangan, apa yang akan dikatakan. Menerangkan secara benar akan membuat seorang anak kebingungan karena akal mereka belum bisa menangkap. Berbohong, adalah cara yang mudah, akan tetapi fatal akibatnya. Karena saat anak sudah mengerti, ia akan menganggap berbohong diperbolehkan dan menirunya. Kita sebagai orangtua harus memahamkan dengan benar tapi disesuaikan dengan umur mereka dan sebatas apa yang dia pahami. Terkadang, kita cukup memberi alasan kalau seorang ibu atau wanita dewasa adalah makhluk Allah yang sedikit istimewa. Sehingga Allah memberi sedikit kelonggaran dalam melakukan shalat. Jika jawaban tersebut dia terima, tidak perlu kita menerangkan secara panjang lebar atau bahkan secara ilmiah agar mereka paham. Akan tetapi, jika alasan tersebut belum menjawab pertanyaan, PR bagi orangtua untuk menjelaskan jawaban yang lebih masuk akal sesuai dengan kapasitas dia sebagai seorang anak.
Memiliki anak yang cerdas dan kritis akan memberikan cerita yang lebih seru lagi saat mengajarkan ibadah shalat ini. Akan ada banyak pertanyaan dan bantahan dikeluarkan hanya untuk melakukan ibadah shalat.
Biasanya memberikan pengertian tentang pentingnya shalat dan manfaatnya lebih efektif jika bisa kita jadikan sebagai cerita yang menarik untuk mereka. Dan jangan memberikan seketika saat anak membantah perintah kita. Akan lebih baik cerita-cerita itu dimasukkan di sela-sela kegiatan santai atau saat menjelang tidur. Karena anak akan lebih merasa nyaman saat kita bercerita akan pentingnya ibadah shalat.
Kalaupun anak senang membantah, bisa kita ajak dengan cara diskusi. Akan tetapi sesuaikan dengan usia anak-anak kita. Dengan bahasa yang mereka mengerti dan contoh-contoh yang mudah pula
Sumber
http://www.kompasiana.com/nunuk_cita/mengajarkan-shalat-sejak-dini_54f82fcfa333111c5f8b467d
Seorang anak yang mereka cita-citakan adalah anak yang saleh. Sehingga dapat mengangkat derajat orangtuanya di hadapan Allah SWT dan dapat menyelamatkan orangtuanya di akherat nanti dengan doa-doanya. Jikalau di dunia mereka meraih jabatan atau pekerjaan yang baik, mereka adalah orang-orang yang berakhlak Islam. Melakukan pekerjaanya semata-mata untuk mencari Ridho-Nya dan takut hanya kepada Allah saja. Seorang anak yang mempunyai kesadaran bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Meskipun begitu, kesadaran akan Islam tidaklah mudah diterapkan dalam mendidik anak di rumah. Banyak kendala yang dialami oleh sebagian besar orangtua untuk mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh. Harus memulai dari usia berapa dan dengan cara apa ?
Salah satu contoh saja, dalam hal ini adalah bagaimana mengajarkan anak mempraktekkan ibadah rutin yaitu shalat. Dengan menjalankan shalat lima waktu, orangtua bisa mengajarkan kedisiplinan dan melatih kesabaran kepada anak.
Umur berapakah anak diajarkan shalat? Banyak orang tua beranggapan mengajarkan shalat anak tidak perlu terburu-buru. Saat mereka sudah menginjak dewasa, akan lebih mudah untuk menyuruhnya.
Tapi tahukah, Anda? Mengajarkan apa pun lebih baik dilakukan sedini mungkin. Selain sebagai pembiasaan juga agar anak lebih mudah diberi pengertian saat dia mencapai umur yang sesuai dengan wajibnya shalat.
Tidak perlu memaksa dengan ancaman. Kita mengajarkan kewajiban shalat kepada anak dengan cara yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Bukankah berdakwah atau menyampaikan ajaran Islam sudah dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya...
Dalam Firman Allah SWT :”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...” (Q.S. An-Nahl:125)
Mengajarkan anak pun tidak harus dengan kekerasan atau dengan cara memberi iming-iming hadiah. Boleh sekali-kali memberi mereka hadiah, akan tetapi saat mereka selesai melakukan perbuatan baik. Sedangkan pujian wajib kita berikan utuk apa pun perbuatan baik yang selesai mereka lakukan.
Hadiah bukan diberikan sebagai iming-iming atau imbalan yang akan mereka dapat jika berbuat baik. Agar saat mereka melakukan perbuatan baiknya bukan karena hadiah yang akan mereka dapat tetapi karena mendapatkan penghargaan dari apa yang sudah dilakukannya.
Tidak perlu menyuruh anak melakukan ibadah shalat dengan sempurna terlebih dahulu. Kita ajarkan sedikit demi sedikit sesuai kemampuan dan usia mereka. Sedari usia dini, anak kita perlihatkan bagaimana Ayah Ibunya melakukan shalat dengan menyertakan anak dalam setiap kegiatan shalat. Jika mereka masih bayi, kita sandingkan dengan tempat shalat. Jika sudah mampu berdiri bisa diajarkan pelan-pelan. Jangan merasa terganggu dengan ulah mereka. Karena Rasulullah SAW saja, tidak marah dan merasa terganggu shalatnya saat cucunya Husain naik ke punggung beliau. Beliau menunggu sampai Husain selesai bermain dan turun dari punggungnya. Lalu Beliau meneruskan kembali shalatnya. Jangan memarahi anak saat mereka tidak khusu’ dan tertawa-tawa pada saat shalat. Selalu memberi pengertian dengan baik tentang adab shalat. Disiplinkan lima waktu, jika mereka belum mampu tepat waktu jangan dipaksakan. Meskipun shalat subuh bisa mereka lakukan pukul 06.00 pagi, beri mereka pujian dan menasehatkan agar lain kali bisa bangun lebih pagi. Masalah bacaan shalat, bisa diberikan pada saat-saat bermain atau sebelum tidur secara rutin dengan membaca bersama-sama.
Mengajarkan kepada anak akan lebih mudah jika dengan hikmah atau mencontohkan terlebih dahulu. Orangtua adalah figur pertama yang akan ditiru oleh anak. Jika sebagai orangtua gagal mencontohkan yang baik, maka jangan berharap anak kita akan menjadi baik.
Banyak dari orangtua mengambil praktisnya saja. Anak-anak diserahkan kepada pondok atau sekolah-sekolah berbasis Islam dengan harapan anaknya akan menjadi anak yang saleh secara instan. Mereka tidak sadar, dengan menyekolahkan anak atau menyerahkan pada sebuah pondok, bukan jaminan akan berhasil membentuk kepribadian Islam pada anak tanpa adanya contoh dari orang tua. Jika orangtuanya tidak melakukan perbaikan akhlak dan ibadahnya, bagaimana mereka akan mengajak maupun mengoreksi akhlak dan ibadah anak. Anak bisa saja baik saat di sekolah atau di pondok, akan tetapi saat pulang dan menemui orangtuanya, ternyata aklak dan ibadah orang tua tidak lebih baik dari anak. Sholat subuh yang biasanya dilakukan secara tepat waktu di pondok, ternyata orang tua dirumah dalam melaksanakan sering kesiangan, selain protes mereka pada akhirnya akan meniru perbuatan yang dilakukan oleh orangtuanya. Seringkali keinginan orang tua agar putra putri yang saleh dan saleha tidak seiring dengan perbuatan yang harus mereka lakukan, orangtua hanya mau memakai paradigma kapitalis, “asal saya bisa bayar, saya akan minta ustadz atau ustadzah untuk mengajari ” tanpa berusaha untuk memperbaiki akhlak dan ibadahnya sebagai orang tua. Mereka lupa mengajarkan akhlak dan ibadah tidak bisa dengan menggunakan teknik pengajaran ilmu sains, pengajar dan pakar dipanggil lalu yang diajari bisa menyerap ilmu mereka sampai pandai. Ayah dan ibu tidak akan diprotes anak, gara-gara anak telah menjadi ahli nuklir sedangkan ayah dan ibunya masih seorang petani, tetapi mereka akan protes ketika anak telah memahami dan mengerjakan shalat dengan baik, sedangkan ayah dan ibunya tidak pernah shalat.
Contoh sederhana lainnya adalah saat ibu tidak melakukan shalat karena berhalangan, apa yang akan dikatakan. Menerangkan secara benar akan membuat seorang anak kebingungan karena akal mereka belum bisa menangkap. Berbohong, adalah cara yang mudah, akan tetapi fatal akibatnya. Karena saat anak sudah mengerti, ia akan menganggap berbohong diperbolehkan dan menirunya. Kita sebagai orangtua harus memahamkan dengan benar tapi disesuaikan dengan umur mereka dan sebatas apa yang dia pahami. Terkadang, kita cukup memberi alasan kalau seorang ibu atau wanita dewasa adalah makhluk Allah yang sedikit istimewa. Sehingga Allah memberi sedikit kelonggaran dalam melakukan shalat. Jika jawaban tersebut dia terima, tidak perlu kita menerangkan secara panjang lebar atau bahkan secara ilmiah agar mereka paham. Akan tetapi, jika alasan tersebut belum menjawab pertanyaan, PR bagi orangtua untuk menjelaskan jawaban yang lebih masuk akal sesuai dengan kapasitas dia sebagai seorang anak.
Memiliki anak yang cerdas dan kritis akan memberikan cerita yang lebih seru lagi saat mengajarkan ibadah shalat ini. Akan ada banyak pertanyaan dan bantahan dikeluarkan hanya untuk melakukan ibadah shalat.
Biasanya memberikan pengertian tentang pentingnya shalat dan manfaatnya lebih efektif jika bisa kita jadikan sebagai cerita yang menarik untuk mereka. Dan jangan memberikan seketika saat anak membantah perintah kita. Akan lebih baik cerita-cerita itu dimasukkan di sela-sela kegiatan santai atau saat menjelang tidur. Karena anak akan lebih merasa nyaman saat kita bercerita akan pentingnya ibadah shalat.
Kalaupun anak senang membantah, bisa kita ajak dengan cara diskusi. Akan tetapi sesuaikan dengan usia anak-anak kita. Dengan bahasa yang mereka mengerti dan contoh-contoh yang mudah pula
Sumber
http://www.kompasiana.com/nunuk_cita/mengajarkan-shalat-sejak-dini_54f82fcfa333111c5f8b467d
Tidak ada komentar:
Posting Komentar