mengajak untuk
merenung dengan kisah berikut,. Semoga bermanfaat!!
Hari itu
Nasibah tengah berada di dapur. Suaminya,
Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar
suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh.
Nasibah menebak, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud. Dengan
bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah
dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang
tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya. “Suamiku tersayang,”
Nasibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju Uhud.
Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.” Said yang
masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia
menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara
itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian
perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah menghampiri. Ia menyodorkan
sebilah pedang kepada Said. “Suamiku, bawalah pedang ini.
Jangan pulang sebelum menang….” Said memandang wajah istrinya.
Setelah mendengar perkataannya seperti itu,
tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan
perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah
derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke
tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya.
Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said
saja. Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua
anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang
dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang
nampaknya sangat gugup. “Ibu, salam dari
Rasulullah,” berkata si penunggang kuda,
“Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…” Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..”
gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima
kasih, ya Allah.” Setelah pemberi kabar itu meninggalkan
tempat itu, Nasibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di
tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku
sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan
pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama
Nabi hingga kaum kafir terbasmi.” Mata amar
bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah
yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak
memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.” Putra Nasibah
yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak
sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan
Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said.
Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.” Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda
Islam yang sejati, Amar. Allah
memberkatimu….” Hari itu pertempuran berlalu cepat.
Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan mereka
meunuju ke rumah Nasibah. Setibanya di
sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu
berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika
sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….” “Inna lillah….” Nasibah
bergumam kecil. Ia menangis. “Kau berduka, ya
Ummu Amar?” Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku
gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan?
Saad masih kanak-kanak.” Mendegar itu, Saad yang tengah berada
tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau
izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang
gagah berani.” Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak
takut, nak?” Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika
Nasibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad
hilang bersama utusan itu. Di arena pertempuran, Saad
betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak
menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya
tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya.
Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah.
Mendengar berita kematian itu, Nasibah meremang
bulu kuduknya. “Hai utusan,” ujarnya,
“Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih
tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.” Sang utusan mengerutkan keningnya.
“Tapi engkau perempuan, ya Ibu….” Nasibah
tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku
perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja
menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sana,
Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nasibah. Setelah itu,
Rasulullah pun berkata dengan senyum. “Nasibah
yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan
mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja
obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan
yang bertempur.” Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah pun segera
menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang
bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu
saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda
yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia menegok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat
senjata orang kafir. Timbul kemarahan Nasibah
menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya
Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah
musuh, Nasibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah
berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya.
Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit
menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang.
Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh
terinjak-injak kuda. Peperangan terus saja
berjalan. Medan pertempuran makin menjauh,
sehingga Nasibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud
mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban
yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat
seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya.
Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya,
“Istri Said-kah engkau?” Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya.
Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…” “Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?
Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….” “Engkau masih luka parah, Nasibah….” “Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan
senjatanya. Dengan susah payah, Nasibah menaiki
kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran. Banyak musuh
yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung,
akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan
itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang
dicintainya. Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal
tadinya cerah terang benderang. Pertempuran
terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya,
“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan
para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut
kedatangan arwah Nasibah, wanita yang perkasa.” Subhanallah walhamdulillah
walaailaahaillallah wallahuakbar,. Walaa haula walaa quwwata
illa billah Al aliyyi al 'adzim,.
Semoga tulisan sederhana ini membawa
banyak manfaat bagi yang membacanya. Segala kesalahan
adalah dari saya pribadi, untuk itu saya mengucapkan mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Dan kebenaran itu mutlak milik Allah Azza Wa Jalla...Wallahu Musta'an
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ila ha illa anta astaghfiruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar