Sesungguhnya fenomena berpaling dari komitmen pada agama ini sungguh
telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Berapa banyak manusia mengeluh
akan kerasnya hati setelah sebelumnya tentram dengan berdzikir pada
Allah, dan taat kepada-Nya. Dan berapa banyak dari orang-orang yang dulu
beriltizam (komitmen pada agama) berkata, “Tidak aku temukan lezatnya
ibadah sebagaimana dulu aku merasakannya”, yang lain bekata, “Bacaan
al-qur’an tidak membekas dalam jiwaku”, dan yang lain juga berkata, “Aku
jatuh ke dalam kemaksiatan dengan mudah”, padahal dulu ia takut
berbuat maksiat.
Dampak penyakit ini nampak pada mereka, diantara ciri-cirinya adalah :
1. Mudah terjatuh dan terjerumus dalam kemaksiatan dan hal-hal yang
diharamkan (Allah), bahkan dia terus melakukannya padahal dahulu dia
sangat takut terjerumus kedalamnya.
2. Merasakan kerasnya hati, nasehat tentang kematian tidak berbekas
sama sekali dalam hatinya, demikian juga melihat jenazah dan kuburan.
3. Tidak mantap dalam beribadah, sehingga anda (akan mendapati orang
seperti ini) tidak menemukan “kelezatan” dalam menunaikan sholat,
membaca al-Qur’an, dan lainnya, serta malas (melakukan) ketaatan dan
ibadah, bahkan mengabaikannya dengan mudah, padahal ia dulu giat serta
bersemangat melakukannya.
4. Lalai dari berdzikir kepada Allah, serta tidak menjaga lagi
dzikir-dzikir syar’iyah (seperti dzikir pagi dan petang, pent) padahal
dulu ia giat dan bersemangat melakukannya.
5. Memandang rendah kebaikan dan tidak perhatian kepada amal kebajikan
yang mudah dilakukan padahal dulu dia orang yang paling teguh dan
rajin.
6. Selalu dibayangi oleh rasa takut pada waktu tertimpa musibah atau
problematika, padahal dulu ia tegar serta teguh imannya kepada takdir
Allah.
7. Hatinya cenderung kepada dunia dan sangat mencintainya hingga ia
akan merasa sangat sedih sekali jika ada sesuatu dalam kehidupan dunia
ini yang luput darinya, padahal dulu ia sangat terikat kepada akhirat
dan kepada kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Ta’ala telah berfirman
:
“Tetapi kalian memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.” ( al-A’la : 16-17 )
8. Terlalu berlebihan dalam memperhatikan kehidupan dunianya baik dalam
masalah makan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan,
padahal dulu ia lebih mengutamakan untuk mempercantik akhlaqnya dan
untuk komitmen serta berpegang teguh pada agama.
Masih banyak lagi sebenarnya dampak penyakit ini. Dan sungguh Nabi
–shollallahu alaihi wa sallam- telah berlindung dari al-Haur ba’da al
Kaur. Dari ‘Abdullah bin Sarjas –radhiallahu anhu- ia berkata,
“Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- jika bepergian berlindung
dari kesukaran perjalanan, kesedihan saat kembali dan dari al-Haur ba’da
al Kaur (lemah/malas dalam beribadah setelah dulunya semangat/rajin).”
Dalam riwayat at-Tirmidzi :
“… dan dari al haur ba’da al kaun..”.
Berkata Nawawi, “Kedua hadits ini adalah hadits yang disebutkan oleh
para ahli hadist, ahli bahasa dan ahli gharibul hadits/lafadh asing
dalam hadits.” (Syarh Muslim 9/119)
Lalu apakah makna al-Haur ba’da al-Kaur?
Ibnul Faris berkata : “al-Haur” artinya adalah : kembali, Allah- azza wa jalla- berfirman :
“Sesungguhnya ia menyangka bahwa ia sekali-kali tidak akan kembali, tetapi tidak…” (al-Insyqaaq : 14)
Orang Arab berkata :
Maknanya kebatilan itu kembali dan berkurang.
Jika dikatakan :
“Kami berlindung kepada Allah dari al haur.
Makna al-Haur adalah berkurang setelah bertambah. (Mu’jamu Maqayis al-Lughah 2/117)
Ibnu Mandzur menjelaskan dalam “Lisanul ‘Arob” (4/217), ia berkata : “Dan dalam hadits :
“Kami berlindung kepada Allah –azza wa jalla- dari al Haur setelah al Kaur”
Maknanya adalah dari berkurang setelah bertambah, atau dari kerusakan urusan kami setelah kebaikan.
At-Tirmidzi menafsirkan dengan perkataannya : “Dan makna perkataannya :
‘al-Haur ba’da al-Kaun atau al-Kaur, kedua kata itu (al-Kaun dan
al-Kaur) mempunyai satu arti, yaitu kembali/berpaling dari keimanan
menuju kekafiran, dari ketaatan menuju kemaksiatan.’” (Sunan at-Tirmidzi
498/5)
Kalau begitu, makna al Haur ba’da al Kaur adalah perubahan keadaan
manusia dari iman kepada kekafiran, atau dari takwa dan kebaikan kepada
perbuatan rusak dan buruk, atau dari hidayah kepada kesesatan. Dan
dalam hal ini manusia berbeda-beda tingkatannya, maka jika seseorang
mundur/berpaling ke belakang dikhawatirkan ia menutup akhir kehidupannya
dengan hal yang buruk.
Dan satu hal yang telah diketahui bahwa amal-amal (seseorang) dilihat
pada akhir kehidupannya, dari Sahl bin Sa’ad –radhiallahu anhu-, bahwa
Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Sesungguhnya seorang laki-laki dulunya beramal dengan amal penghuni
neraka, dan sesungguhnya ia adalah penghuni surga, dan ia dulu
mengerjakan amalan penghuni surga, padahal ia adalah penghuni neraka,
sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada akhirnya.” (HR. al-Bukhari
6607)
Dari Abu Hurairah –radhiallohu anhu- bahwa Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- berkata :
“Sesungguhnya ada seseorang yang dia beramal dengan amalan penghuni
surga dalam jangka waktu yang lama tapi diakhir hayatnya dia melakukan
perbuatan penghuni neraka dan ada juga orang yang dahulunya berbuat
perbuatan penghuni neraka tapi dia akhiri hidupnya dengan perbuatan
penghuni surga.” (HR. Muslim 2651 dan Ahmad).
Nash-nash hadits diatas dan selainnya menerangkan kepada kita bahwa
yang paling menentukan amal seseorang itu bukan dari apa yang
dilakukannya semasa hidupnya tetapi dalam keadaan bagaimana ia
mengakhiri hidupnya.
Oleh karena itu pembahasan masalah ini sangat penting sekali, jangan
sampai ada seseorang diantara kita yang mengira ia telah sukses melalui
jembatan dan sampai di daratannya dengan aman disebabkan komitmennya
terhadap agama, serta selamat dari kesesatan dan dari al Haur ba’dal
Kaur.
Keteguhan/kekokohan hanya dari Allah –azza wa jalla- semata. Allah
–azza wa jalla- menguatkan/meneguhkan nabi-Nya, Dia berfirman :
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka”. (al-Isra’ : 74)
Oleh karena itu Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- mengajarkan
kepada kita agar kita memohon pertolongan kepada Allah –azza wa jalla-
agar Dia mengokohkan kita diatas agama Islam, beliau –shollallahu alaihi
wa sallam- bersabda :
“ Wahai yang meneguhkan hati, teguhkanlah hati kami diatas agama-Mu” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dan sering kali beliau –shollallahu alaihi wa sallam- berkata tatkala bersumpah :
“Tidak, demi Dzat Yang Membolak-balikkan hati.” (HR al-Bukhari 7391)
Diantara doa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- :
“Wahai yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepadamu . (HR Muslim 2654)
Seorang yang beriman harus berusaha memeriksa hatinya dan mengetahui
penyakit serta penyebab sakit hatinya, dan berusaha untuk mengobatinya
sebelum hatinya menjadi keras dan akhir hidupnya menjadi jelek. Maka apa
penyebab al-Haur ba’dal Kaur ? dan apa obatnya ?
Sebab-sebab al-Haur ba’dal Kaur adalah :
1. Lemah Iman.
Lemah iman adalah penyebab kerasnya hati, mudah jatuh dalam kemaksiatan
dan malas dari ketaatan, tidak mendapatkan pengaruh dari (membaca)
al-Qur’an dan shalat. Lemah iman juga mengurangi rasa takut dia kepada
Allah –azza wa jalla-. Lemah iman juga penyebab banyaknya terlibat debat
dan berbantah-bantahan, tidak adanya perasaan merasa bertanggung jawab
kepada Allah –azza wa jalla- dan beberapa fenomena lainnya. Hal ini
juga disebabkan sikap menjauh dari teman yang shalih serta majelis
ilmu, dan tersibukkan dengan urusan-urusan dunia serta panjang
angan-angan, dan terjerumus dalam hal-hal yang di haramkan. Maka
apabila iman seseorang lemah, maka berubahlah keadaannya, dari hal yang
baik & istiqamah menjadi tersesat dan berpaling. Maka suatu
keharusan (bagi seorang muslim yang merasakan lemahnya iman) untuk
mengobatinya. Caranya adalah dengan ikhlas (kepada Allah) dan membaca
serta merenungkan al-Qur’an kemudian takut kepada (siksaan) Allah dan
bertaubat dari dosa, kemaksiatan, takut terhadap akhir kesudahan yang
buruk serta mengingat mati dan akhirat.
2. Jauh Dari Suasana Yang Penuh Dengan Keimanan.
Seperti majelis ilmu, masjid, al-Qur’an, teman yang shalih, shalat
malam, dzikir dan lainnya. Jauh dari suasana yang penuh keimanan ini
akibatnya adalah berbalik kebelakang (kembali kepada kemaksiatan).
Maka apabila seseorang jauh dari temannya yang shalih dalam waktu yang
lama lantaran bepergian jauh atau suatu tugas atau semisalnya ia akan
kehilangan suasana yang penuh keimanan yang mengakibatkan lemahnya iman
dan tidak iltizam lagi, apabila ia tidak segera memperbaiki jiwanya.
Berkata al-Hasan al-Basri : ” Teman-teman kita lebih mahal (nilainya)
dibanding dengan keluarga kita, (hal ini disebabkan) karena keluarga
kita hanya mengingatkan kita kepada dunia, sedangkan teman-teman kita
mengingatkan kita kepada akhirat”.
Maka selayaknya seorang muslim menjaga komitmennya terhadap agama
dengan cara bersungguh-sungguh dan berusaha menjumpai lingkungan yang
penuh keimanan.
3. Pengaruh Lingkungan (Yang Jelek)
Jika seorang yang beriltizam berada ditengah lingkungan jelek, yaitu ia
hidup bercampur dengan manusia yang bangga dengan kemaksiatan yang
dilakukannya dan asyik berdendang dengan lagu-lagu & nyayian,
merokok, membaca majalah, lidahnya menggunjing & mencela orang yang
beriman, dan apabila ia menghadiri suatu majlis undangan atau acara
pernikahan (dikalangan mereka), didapatinya kemungkaran,
pembicaraan-pembicaraan mengenai perdagangan, jabatan, harta serta
masalah-masalah dunia yang mengakibatkan terjatuhnya hati dalam cinta
yang mendalam pada dunia, jika demikian keadaannya maka hati berubah
menjadi keras, dan akhirnya berbalik dari komitmen terhadap agama dan
kebaikan kepada cinta dunia dan kemaksiatan. Dan apabila ia diuji dengan
harta, dengan istri yang lemah imannya atau anak-anak yang sama dengan
ibunya dia tidak mampu teguh bahkan mundur dan meninggalkan kebaikan
dan keistiqomahan. Jika dia berkumpul dengan keluarga, tetangga dan
teman-temannya yang jelek, mendengar kata-kata yang menyakitkan, ejekan,
dan mendapatkan nasehat-nasehat yang menghalanginya untuk beriltizam,
maka akibatnya ia mundur dari beriltizam dan berbalik hingga merugi di
dunia dan di akhirat.
4. Lemah Dalam Pendidikan Yang Benar (Sesuai Agama).
Jika seorang muslim tidak menjaga dirinya dengan pemeliharaan,
pendidikan dan perjuangan, ia akan mundur dan berbalik. Maka ia harus
meluangkan waktunya sesaat untuk bertaqarrub/mendekatkan diri kepada
Allah, menginstropeksi dirinya, mohon ampun dan bertaubat. Dan ia harus
meluangkan waktu untuk mendapatkan ilmu agama, mempelajarinya,
membacanya dan mengulangi pelajarannya. Dan ia harus meluangkan waktunya
sesaat untuk berdakwah, sesaat untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an,
hingga ia dapat menjaga amalannya itu.
5. Memandang Remeh Dosa-Dosa Dan Perbuatan Maksiat.
Abdullah bin Mubarak berkata :
Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati,
Mengerjakannya terus-menerus menimbulkan kehinaan
Adapun meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Dan mendurhakai dosa adalah baik bagi jiwamu
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata :
“Sesungguhnya diantara dampak negatif dosa adalah melemahkan perjalanan
hati (seseorang) menuju negeri akhirat atau menghalanginya atau
memutuskannya dari perjalanan itu. Dan kadang kala dosa juga bisa
memutar balikkannya ke arah belakang (maksiat dan kekufuran). Hati itu
akan berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, jika hati itu sakit
lantaran dosa-dosa lemahlah kekuatan yang menjalankannya”. (al-Jawabul
Kahfi hal 140)
Meremehkan dosa-dosa akan berdampak buruk bagi seseorang, diantaranya
menyebabkan bertambahnya dosa, menjauhkan seseorang dari jalan taubat,
dan mengajak untuk tidak menjauh dari pelaku dosa. Lalu ia akan asyik
bersahabat dan duduk bersama mereka (para pelaku dosa dan maksiat).
Bahkan dosa-dosa tersebut mengajaknya untuk menjauh dari orang shalih
dan bertaqwa. Dan ini adalah penyebab utama seseorang tidak istiqomah di
atas jalan yang lurus.
6. Tertipu Dan Kagum Terhadap Diri Sendiri
Tidak diragukan lagi bahwa menghadiri majelis ilmu dan berteman dengan
orang shalih menunjukkan bahwa pada diri orang tersebut terdapat
kebaikan, akan tetapi jika telah masuk perasaan tertipu dan bangga
terhadap diri sendiri maka hal ini akan memberi pengaruh jelek terhadap
pelakunya. Jika sudah demikian, ia akan merasa telah sempurna dan tidak
merasa butuh berbuat kebaikan dan beramal shalih lagi. Dan jika
seseorang telah kagum terhadap dirinya sendiri maka akan hilang dari
dirinya perasaan takut terhadap akhir kesudahan yang jelek dan ia akan
merasa aman terhadap kesesatan setelah mendapatkan petunjuk. Hal ini
merupakan tanda lemahnya hati dan penyebab seseorang itu mundur
kebelakang tidak istiqamah lagi. Jika seseorang kagum terhadap dirinya
ia akan tersibukkan dengan mencari aib-aib orang lain dan menyepelekan
untuk memperbaiki aib dalam dirinya.
Maka seseorang harus mengobati jiwanya dengan membuang rasa bangga
terhadap diri sendiri kemudian bersikap tawadhu’, takut serta
memperbaiki aibnya dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.
7. Berteman Dengan Orang-Orang Jahat
Seorang teman mempunyai peranan penting dalam membentuk serta
mempengaruhi kepribadian sahabatnya. Jika seorang teman melihat
film-film dan majalah-majalah yang memberikan mudharat/bahaya (bagi
agamanya), mendengarkan lagu-lagu dan musik, maka ia akan mempengaruhi
sahabatnya. Dan terkadang hal-hal yang dilakukan temannya menyelisihi
syariat agama tapi ia berbasa-basi dan tidak mengingkarinya, terkadang
ia melihat temannya tidak taat beribadah dan meninggalkan sunnah-sunnah
nabi, maka ia pun terpengaruh dan meninggalkan keistiqamahannya.
Oleh karena itu seseorang harus memilih teman yang shalih yang
membantunya untuk taat kepada Allah, dalam hadits yang shahih disebutkan
bahwa :
“Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka hendaknya seseorang melihat siapa temannya”.
8. Ada sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang meninggalkan keistiqomahan, diantaranya :
- lemahnya kesungguhan dalam berpegang teguh (terhadap agama) dan tidak
sabar atas kesulitan-kesulitan dan musibah yang menimpanya.
- Panjang angan-angan, berlebih-lebihan dalam menerapkan hukum agama terhadap dirinya diluar batas kemampuan (ekstrim).
- Penyakit-penyakit hati dan lisan yang menimpanya.
- Kepribadian yang lemah dan sikap selalu mengekor kepada orang lain.
- Kegagalan-kegagalan yang menimpa pada masa lalu dan dia sulit keluar darinya.
Lalu Bagaimana Cara Penyembuhannya?
Disaat kita menyebutkan hal-hal yang menyebabkan ketidak istiqamahan, kita juga menemukan cara-cara untuk mengobatinya :
Lemah iman obatnya adalah menguatkan keimanan. Penyakit menjauhi dari
lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan obatnya adalah mencari dan
menjaga serta meningkatkan lingkungan yang penuh dengan suasana
keimanan. Penyakit yang disebabkab oleh lingkungan (yang jelek) obatnya
adalah sabar serta menambah keistiqamahan dan bersandar kepada Allah.
Lemah dalam pendidikan yang benar obatnya adalah bersungguh-sungguh
dalam mencari pendidikan yang benar sesuai dengan agama dan mengatur
waktu serta bersungguh-sungguh memperbaiki jiwa. Dosa-dosa dan maksiat
obatnya adalah taubat dan mohon ampun dan tidak meremehkan dosa-dosa
tersebut. Adapun penyakit hati dan lisan yang mengakibatkan perbuatan
jelek maka obatnya adalah membebaskan diri darinya dan dengan bertaubat
yang benar. Adapun teman yang jelek maka obatnya adalah memilih teman
yang baik dan shalih.
Adapula Cara Lainnya Untuk Mengobati Sikap Tidak Istiqamah
1. Ikhlas dan jujur kepada Allah, hal ini adalah sebab terpenting untuk istiqamah dan menjadi baik :
Ibnul Qayyim berkata :
Sesungguhnya yang mendapatkan kesulitan dalam meninggalkan maksiat yang
disukainya dan yang sering dilakukannya adalah seseorang yang
meninggalkannya bukan karena Allah. Adapun seseorang yang meninggalkan
hal tersebut dengan jujur, ikhlas dari hatinya karena Allah, ia hanya
merasakan kesulitan di awal kali ia meninggalkannya. Ini semua untuk
mengujinya, apakah ia jujur dalam meninggalkannya ataukah hanya
berdusta, jika ia sabar dalam menghadapi kesulitan ini sebentar saja, ia
akan memperoleh kelezatannya”. (Al-Fawaid : 99)
2. Takut kepada akhir kesudahan/kematian yang jelek (su’ul khatimah)
Seorang yang beriman dan jujur harus takut dari akhir kesudahan yang
buruk, dan waspada dari penyebabnya. Allah –subhanahu wa ta’ala-
berfirman :
“(Ya Allah) wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang salih”. (Yusuf : 101)
Suatu malam Sufyan ats-Tsauri –rahmahullah- menangis hingga subuh, tatkala ia ditanya, ia menjawab :
“Sesungguhnya aku menangis karena takut su’ul khatimah / mati dalam
keadaan beramal buruk”. (Kitabul aqibah, karya Abdul Haq al-Isbaili 178)
Al-Imam al-Barbahari –rahimahullah- berkata :
Dan ketahuilah, bahwa sepatutnya seseorang ditemani perasaan takut
selamanya, karena ia tidak mengetahui mati dalam keadaan bagaimana,
dengan amalan apa ia mengakhiri hidupnya, dan bagaimana ia bertemu Allah
nantinya sekalipun ia telah mengamalkan segala amal kebaikan. (Syarhu
Sunnah 39)
Rasa takut dari akhir kesudahan yang buruk memiliki banyak dampak
positif. Perasaan ini akan mendorong seseorang untuk berserah diri
kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- serta menghadap kepada-Nya dengan
selalu berdoa kepada-Nya. Perasaan takut ini akan mengajaknya untuk
bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menambah sikap istiqamah dan
kebaikan, dan takut dari berbalik mundur kebelakang.
3. Berdoa
Berdo’a kepada Allah agar melindungi kita dari “al-haur badal kaur”. Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- berdo’a :
“Dan kami berlindung dari al-haur badal kaur” (HR Ahmad dan Muslim 1343, Tirmidzi, Nasai dan lainnya)
Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- juga banyak berdoa :
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati kokohkanlah hatiku diatas agama-Mu” (HR Tirmidzi)
Kita juga diperintah untuk memohon kepada Allah –subhanahu wa taala-
agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kita, Rasulullah –shollallahu
alaihi wa sallam-bersabda :
“Sesungguhnya iman dapat menjadi usang dalam rongga (hati) kalian,
sebagaimana baju dapat menjadi usang, maka mintalah kepada Allah agar
Dia memperbaharui keimanan dalam hati kalian”. (HR Hakim, terdapat juga
dalam as-silsilah as-Shahihah karya al-Albani no 1585), maka hendaknya
kita memperbanyak berdoa kepada Allah.
4. Kontinyu dalam beramal shalih dan memperbanyak amal shalih.
Sesungguhnya amal shalih yang dilakukan secara kontinyu oleh seseorang
adalah lebih disukai oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu
alaihi wa sallam- :
“Amal yang paling disukai Allah adalah yang kontinyu walaupun sedikit ….” (Muttafaqun alaihi)
Jika seorang muslim kontinyu dalam beramal shalih sesungguhnya ia akan
hidup dalam kebaikan dan keistiqamahan, jika ia lemah dan tertimpa rasa
putus asa, maka amal-amal kebaikan yang ia lakukan secara kontinyu ini
akan menjadi tiang penyangga untuk istiqamah, mengembalikan jiwa (yang
putus asa), dan menguasai jiwanya. Maka sepatutnya bagi seorang muslim
untuk memperhatikan dalam mengerjakan amal-amal shalih beberapa
perkara ini :
a. Bersegera dan berlomba-lomba dalam beramal shalih, Allah berfirman :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga …” (Ali Imran : 133)
b. Dan terus beramal shalih serta menjaganya :
“Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku (Allah) dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR Bukhari 6137)
c. Lalu bersungguh-sungguh dalam beramal shalih dan memperbanyaknya
kemudian bervariasi dalam beramal shalih supaya tidak membosankan
jiwanya.
5. Ibnu Mas’ud berkata :
“Dahulu Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- tidak terus menerus dalam
memberi nasehat lantaran khawatir kejenuhan menimpa kami”. (Bukhari 68)
Maka seorang muslim harus mengambil bagian untuk duduk dalam majelis
ilmu yang memberikannya nasehat, dan dibacakan kepadanya kitab-kitab
tentang hal itu.
6. Ada juga cara lain untuk mengobati fenomena ketidak istiqamahan ini, diantaranya :
Berdzikir kepada Allah, merenungkan kehinaan dunia, mengoreksi diri, beramal dan aktif berdakwah.
Akhirnya segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Kita berlindung kepada Allah dari al-Haur ba’dal Kaur.
Ya Allah (yang membolak-balikkan hati). Tetapkanlah hati-hati kami untuk
selalu ta’at kepada-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan Husnul
Khotimah. (al-Asholah Edisi 27)
Sumber : http://majalahislami.com