Senin, 08 Desember 2014

"Maafkanlah"

"Maafkanlah"

Sangat sulit bagi seorang untuk hidup tanpa membutuhkan orang lain. Oleh karena itu manusia adalah makhluk sosial. Hal ini diantaranya yang menunjukkan betapa pentingnya hidup bermasyarakat dimana masing-masing ikut merasakan suka dukanya kehidupan. Meski demikian adalah kenyataan bahwa problematika hidup bermasyarakat sangatlah kompleks. Yang demikian itu karena masyarakat dengan seluruh lapisannya memiliki karakter dan kepribadian yang tidak sama. Demikian pula tingkat pemahaman tentang agama dan kesiapan untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari pun sangat beragam. Oleh sebab itu, masing-masing individu hendaknya memiliki kesiapan jiwa yang dengannya bisa menghadapi keadaan apapun dengan tepat. Diantaranya adalah sikap tabah dan lapang dada yang didukung oleh ilmu syariat. Bisa dikatakan, bahwa secara umum orang itu siap untuk di puji dan diberi namun sangat berat jika dicela dan dinodai. Disinilah ujian, apakah seorang mampu menguasai dirinya saat pribadinya disinggung dan haknya ditelikung. Dalam Al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya seperti firmanNya:
1
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya”.(QS. Ali’Imran :134)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya disaat marah dia sejatinya orang yang kuat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
2
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya disaat marah”(HR. Al Bukhari, No.6114).
Memaafkan orang
Termasuk amalan yang sangat mulia disaat seorang bersabar terhadap gangguan yang ditimpakan orang kepadanya dan mema’afkan kesalahan orang padahal ia mampau untuk membalasnya. Gangguan itu bermacam-macam bentuknya. Adakala berupa cercaan, pukulan, perampasan hak dan semisalnya. Memang sebuah kewajaran bila seorang menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan seorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah mulia dan baik akibatnya bila dia mema’afkannya, Allah Ta’ala berfirman:
3
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”.(QS. Asy Syura :40)
Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama: Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya : jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan dan harta diganti dengan yang sebanding.
Kedua: Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan adanya perbaikan dan muncul maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga: Dhalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang lebih dari kejahatannya.[Lihat taisir Al karim Ar rahman hal.760, Arrisalah].
Kedudukan yang mulia
Memaafkan kesalahan orang acap kali dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal yang ada justru sebaliknya. Orang bila membalas kejahatan yang dilakukan seorang kepadanya maka sejatinya dimata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi dikala dia memaafkan padahal ia mampu untuk membalasnya maka dia mulia dihadapan Allah dan manusia.
Berikut beberapa kemuliaan dari memaafkan kesalahahan.
1.Mendatangkan kecintaan.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35:
4
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar”.
Berkata Ibnu Katsir: “bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi kepada merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat”. Berkata Ibnu ‘Abbas: Allah memerintahkan orang beriman untuk bersabar dikala marah, bermurah hati ketika diremehkan dan memaafkan disaat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah menjaga mereka dari (tipu daya) syaithan dan musuhpun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat. [tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim 4/109]
2.Mendapat pembelaan dari Allah.
Al Imam Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah bahwa ada seorang laki-laki berkata: wahai Rasulullahr, sesungguhnya aku punya kerabat, aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku bebuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek dan aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
5
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat  penolong dari Allah atas mereka selama kamu diatas hal itu” (HR Muslim).
3.Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
6
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. At Taghabun :14).
Adalah Abu Bakr dahulu biasa memberikan nafkah kepada oran-orang yang tidak mampu, diantaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakar dan muhajirin. Disaat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr istri Nabi,. Misthah termasuk salah satu yang menyebarkannya. Kemudian Allah menurunkan ayat menjelaskan kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakr bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah Ta’ala menurunkan firmanNya:
7
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(QS. An nur:22)
Abu Bakr mengatakan: betul, demi Allah, aku ingin agar Allah mengampuniku. Lantas Abu Bakr kembali memberikan nafkah kepada Misthah.[lihat Shahih Al Bukhari no.4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
8
“Sayangilah –makhluk- maka kamu akan disayangi Allah dan berilah ampunan niscaya Allah mengampunimu”[Shahih Al adab Al mufrad no:293].
Al Munawi berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifatNya yang diantaranya adalah (sifat) rahmat dan pemaaf. Allah juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut”[Faidhul qadir 1/607].
Adapun Allah Ta’ala mencintai orang yang memaafkan karena memberi maaf termasuk berbuat baik kepada manusia, sedangkan Allah cinta kepada orang yang berbuat baik, sebagaimana firmanNya:
9
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS Ali Imron: 134).
4.Mulia disisi Allah dan manusia.
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan kesalahan orang lain disamping tinggi kedudukannya disisi Allah ia juga mulia dimata manusia. Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang atas lawannya dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
10
“Shodaqah –hakekatnya-tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena meaafkan kecuali kemuliaan dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah melainkan diangkat oleh Allah”(HR Muslim dari Abi hurairah).
Kapan memberikan maaf terpuji?
Seorang yang disakiti oleh orang dan bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap seperti ini sangat terpuji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melakukan –pembalasan- maka Allah akan memanggilnya dihari kiamat dihadapan para makhluq sehingga memberikan pilihan kepadanya bidadari mana yang ia inginkan”[hadits ini di hasankan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no:3394].
Demikian pula pemaafan terpuji bila kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah. ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata: “tidaklah Rasulullah membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikitpun, kecuali bila kehormatan Allah dilukai maka beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu tidaklah beliau disakiti pribadinya oleh orang-orang badui yang kaku perangainya atau dari orang-orang yang lemah imannya atau bahkan dari musuhnya kecuali beliau memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi dengan keras hingga membekas dari pundaknya, ada yang menuduh Nabi tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang dan ada lagi yang hendak membunuh Nabi namun gagal karena pedang jatuh dari tangannya, mereka dan yang berbuat serupa di maafkan oleh nabi. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah dan permusuhan terhadp syariatNya. Namun bila menyentuh hak Allah dan agama-Nya beliaupun marah dan menghukum karena Allah dan menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu beliau melaksanakan hukuman cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau yang suci berbuat zina. Ketika beliau menaklukkan kota Makkah beliau memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah.[disarikan dari Al adab An nabawi hal.193 karya Muhammad Al khauli].
Kemudian pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena terkadang pemaafan tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya: ada seorang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan, dia berbuat jahat kepadamu. Bila kamu maafkan dia maka akan terus berada diatas kejahatannya. Maka dalam keadaan seperti ini yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan yaitu efek jera. Berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah: Melakukan perbaikan adalah wajib sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.[lihat Makarimul Akhlak karya Asy syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal:20]
Faidah
Ada masalah yang banyak dilakukan orang dengan tujuan berbuat baik, misalnya yaitu seorang mengemudikan kendaraannya lalu menabrak seseorang hingga meninggal. Kemudian keluarga korban datang dan menggugurkan diat (tebusan) dari pelaku kecelakaan. Apakah perbuatan mereka menggugurkan tebusan termasuk perkara terpuji atau padanya ada perincian?. Dalam masalah ini yang benar ada perincian, yaitu melihat kondisi orang yang menabrak. Apakah dia termasuk orang yang ugal-ugalan dan tidak peduli siapapun yang dia tabrak? Maka dalam keadaan seperti ini yang utama tidak dimaafkan agar memunculkan efek jera. Dan agar manusia terselamat dari kejahatannya. Tetapi bila yang menabrak orangnya baik dan sudah berhati-hati serta mengemudikan kendaraanya dengan stabil maka disinipun ada perincian:
1.Bila sikorban punya hutang yang tidak bisa dibayar kecuali dengan uang tebusan maka bagi ahli waris tidak ada hak untuk menggugurkan tebusan.
2.Bila sikorban tidak punya hutang namun dia punya anak-anak yang masih kecil dan belum mampu usaha maka tidak ada hak bagi ahli waris untuk memaafkan pelaku.
Bila dua keadaan ini tidak ada maka memaafkan lebih utama.[di sarikan dari kitabul Ilmi hal:188-189 karya Asy syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin].
Manusia-manusia pilihan
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan. Para Nabi Allah merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang. Misalnya adalah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam yang telah disakiti oleh sauda-saudaranya sendiri dengan dilemparkan kedalam sumur lalu dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ketempat lainnya dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya. Namun Allah berkehendak memuliakan hambaNya melalui ujian ini. Allah pun mengangkat kedudukan Nabi Yusuf sehingga menjadi bendahara negara di Mesir kala itu. Semua orang membutuhkannya tidak terkecuali saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya. Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok mereka, betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf ketika tahu bahwa Nabi Yusuf telah di angkat kedudukannya sebegitu mulianya. Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam memaafkannya dan tidak membalas. Dia mengatakan:
11
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara Para Penyayang”.(QS Yusuf: 92).
Demikian pula Nabi Musa ‘Alaihissalam dan Nabi Khidhir ‘Alaihissalam ketika keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada suatu penduduk negeri, keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena mereka adalah tamu yang punya hak untuk di jamu. Namun penduduk negeri itu tidak mau menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu didapatkannya dinding rumah yang hampir roboh maka Nabi Khidhir ‘Alaihissalam menegakkan dinding tersebut.
Adapun nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau orang yang terdepan dalam segala kebaikan. Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Nabi berupa daging kambing. Nabi tidak tahu ternyata daging itu telah diberi racun. Nabi pun memakannya, setelah itu Nabi diberi tahu bahwa daging itu ada racunnya. Nabi berbekam dan dengan seizin Allah beliau tidak meningggal. Wanita tadi dipanggil dan ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi. Maka Nabi memaafkan dan tidak menghukumnya.[bisa dilihat di Shahih Al Bukhari no. 2617 dan Zadul Ma’ad 3/298].
Beberapa perkara untuk menangkal kejahatan orang yang dengki
Terkadang bentuk permusuhan seorang kepada orang lain di sebabkan kedengkian dan iri hati terhadap nikmat yang di berikan Allah kepadanya. Memang hal itu terasa menyakitkan. Namun bila seorang hamba menelusuri jalan-jalan berikut, dengan seizin Allah, perkaranya akan mudah yaitu:
1.Berlindung diri kepada Allah dari kejahatan orang yang dengki. Karena Allah mendengar orang yang berlindung kepada-Nya. Dan mengetahui pula sesuatu yang seorang berlindung kepada Allah darinya. Baik makhluk yang bisa di lihat oleh mata kita atau tidak. Karena tidak ada sesuatu pun yang samar atas Allah. Allah Ta’ala berfirman:
12
“Maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Al Mukmin: 56)
2.Bertakwa kepada Allah, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena orang yang bertakwa kepada Allah maka Dialah yang akan menjaganya dan tidak membiarkan kepada selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
13
“Tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (QS. Ali Imran: 120)
3.Bersabar terhadap lawannya. Dimana dia tidak mengeluhkan kejahatan orang yang dengki serta tidak terbetik di hatinya keinginan untuk menyakiti. Karena tidak ada pertolongan bagi orang yang dimusuhi lebih besar dari kalau dia bersabar atas musuhnya. Janganlah orang mengira lambatnya pertolongan. Karena setiapkali seorang bertambah kedzaliman justeru kedzalimannya menjadi boomerang atasnya. Allah Ta’ala berfirman:
14
“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya lagi, pasti Allah akan menolongnya.”(QS. Al Haj: 60)
4.Berserah diri kepada Allah. Firman-Nya:
15
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.”(QS. Attholaq: 3)
5.Mengosongkan hati dari memikirkan kejahatan orang kepadanya. Karena kedengkian ibaratnya adalah api. Api akan membakar bila ada yang dilalapnya seperti kayu. Namun bila api itu tidak mendapatkan apa yang di lalapnya maka api akan memakan dirinya sendiri kemudian akan padam dengan sendirinya.
6.Mengarahkan hati kepada Allah dan menjadikan kecintaan dan keridloan Allah selalu ada di hatinya. Tiada yang diingat di hatinya kecuali kekasihnya (Allah). Hati dan ruhnya tidak ingin berpaling dari-Nya. Sehingga tidak bersemayam dalam hatinya suatu kehendak untuk membalas orang yang jahat kepadanya.
7.Banyak bertobat kepada Allah. Karena dengan sebab dosa yang kita lakukan maka orang lain berani berbuat jahat kepada kita. Allah Ta’ala berfirman:
16
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”(QS. Asy Syuro: 30)
8.Banyak-banyak bershodakoh dan melakukan kebaikan sebisa mungkin.
9.Berbuat baik kepada orang yang jahat dan dengki kepada kita.
10.Memurnikan keyakinan kepada Allah dan memalingkan pikiran dari sebab kepada yang menentukan sebab yaitu Allah. Berbagai peristiwa yang terjadi ada yang mengendalikannya yaitu Allah. Sesuatu tidak bisa memberi manfaat atau madhorot kecuali dengan kehendak Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Ketahuilah, seandainya ummat ini bersepakat untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu maka mereka tidak bisa memberi manfaat sedikitpun kecuali apa yang telah ditakdirkan oleh Allah bagimu. Dan seandainya mereka ingin menimpakan kejahatan kepadamu niscaya mereka tidak bisa kecuali apa yang Allah takdirkan atasmu.” [Disarikan dari Attafsir Al Qoyyim hal 585-593]
Penulis: Al Ustadz Abdul Mu’thi. Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar