Minggu, 24 Mei 2015

“Diam itu Emas” dan Menjaga Lisan

“Diam itu Emas” dan Menjaga Lisan | Catatan Sufistik | Suluk

* Catatan yang terkait erat dengan catatan pada laman ini, berjudul :
Lisan diciptakan untuk memperbanyak dzikir kepada Allah Swt., membaca Al-Qur’an, dan membimbing manusia untuk menempuh jalan yang benar. Maka, pergunakanlah lisanmu untuk mengungkapkan isi hati yang benar dalam urusan agama dan dunia. Apabila engkau pergunakan lisan tidak sejalan dengan tujuan penciptaannya, maka engkau telah mengingkari nikmat Allah Swt dan mendurhakai perintah-Nya. Lisanmu adalah anggota badan yang paling utama.
Lisan merupakan anggota badan yang paling banyak menjerumuskan manusia dalam neraka, melalui perbuatan dusta, menuduh orang lain tanpa bukti, memaki orang lain, memfitnah, menggunjing, dan seterusnya.
Berusahalah sekuat tenaga untuk menjaga lisan supaya ia tidak menjerumuskanmu ke jurang neraka.
Dalam sebuah hadits disebutkan : “Seseorang mengatakan sesuatu dengan maksud mentertawai orang lain. Maka, akibat perbuatan lisannya itu, ia dijerumuskan dalam neraka selama tujuh puluh tahun.”
Perkataan itu ada 4 macam : perkataan yang mendatangkan manfaat, perkataan yang mendatangkan manfaat dan  menimbulkan bahaya pada saat yang sama, dan perkataan yang tidak menimbulkan manfaat atau bahaya. Yang menimbulkan bahaya harus didiamkan, begitu juga yang menimbulkan bahaya dan manfaat harus didiamkan pula, sedangkan yang tidak menimbulkan manfaat maupun tidak menimbulkan bahaya, maka itu adalah perkataan yang sia-sia.
Luqman al-Hakim berkata kepada putranya : “Andaikata bicara itu adalah perak, maka diam adalah emas.”
Seorang arif berkata : “Diam itu menyimpan tujuh ribu kebaikan yang terhimpun dalam tujuh perkataan, dalam setiap perkataan terdapat seribu kebaikan, yaitu : diam itu ibadah, diam itu keindahan tanpa perhiasan, diam adalah wibawa tanpa kekuasaan, diam adalah benteng tanpa penjaga, diam tidak membutuhkan alasan, diam itu mengistirahatkan para malaikat dari menulis catatan amal manusia, dan diam itu menutupi aib dan kekurangan.”
Yang lain mengatakan : “Ada 3 perkara yang membuat hati membatu : tertawa tanpa merasa heran*, makan tanpa rasa lapar dan bicara tanpa keperluan.” (* terkait perihal “tertawa”, termuat dalam catatan berjudul : Adab Suluk | Tidak Bersenda gurau ).
Jagalah lisanmu dari 8 perkara berikut :
1. Berkata bohong,
2. Ingkar janji,
3. Menjaga lisan dari ghibah* (Catatan mengenai ghibah, termuat dalam catatan berjudul : Ghibah sebagai Perbuatan Dzalim | Suluk ),
4. Berbantah-bantahan dan saling mendebat dengan tujuan mencela pendapat orang lain, dan mendustakannya serta menganggap remeh orang yang mengatakannya,
5. Memuji kesucian diri sendiri,
6. Melaknat sesuatu, atau mendoakan orang lain agar dijauhkan dari rahmat Allah Swt.,
7. Mendoakan kebinasaan orang lain,
8. Bergurau, mengejek, dan menghina orang lain.
Kedelapan penyakit lisan di atas dapat disembuhkan dengan cara menjauhkan diri dari pergaulan untuk sementara waktu atau dengan bersikap diam dan tidak berbicara apabila tidak ada keperluan. Rasulullah Saw bersabda,”Barang siapa ingin selamat, hendaklah diam.”
(* Sumber : Maraqi al-Ubudiyyah, Syarah atas Kitab Bidayatu-l Hidayah-Imam Al Ghazali, Syaikh Nawawi al-Bantani);
Rasulullah Saw juga pernah bersabda,”Sembilan per sepuluh ibadah ada pada diam, dan sepersepuluhnya ada pada menghindari manusia.”
Sebuah kalimat hikmah berbunyi : “Sembilan puluh persen ibadah ada pada diam.”
Ketika Maryam bernadzar untuk tidak berbicara dan menahan lidahnya karena Allah, maka Allah membuat bayinya (Isa a.s) bisa berbicara, padahal bayi itu belum tahu cara berbicara. Allah membuatnya berbicara karena Maryam.
Siapa yang memelihara lidahnya di dunia karena Allah, niscaya Dia Ta’ala akan menjadikan lidahnya mengucapkan syahadat ketika ajal menjemput, atau bertemu dengan Allah.
Siapa yang tidak bisa menjaga lidahnya untuk tidak merusak nama baik kaum muslim ataupun membicarakan aib mereka, niscaya Allah Swt mencegah lidahnya ketika hendak mengucapkan syahadat sewaktu nyawanya akan melayang.
Rasulullah Saw bersabda,”Siapa yang banyak bicara, banyak pula salahnya. Siapa yang banyak salahnya, banyak pula dosanya. Siapa yang banyak dosanya, neraka adalah tempat yang pantas baginya.”(HR. Abu Na’im)
Ketika Muadz r.a bertanya kepada Rasulullah Saw tentang amalan yang paling utama, beliau mengeluarkan lidahnya dan meletakkan tangannya di atasnya (isyarat agar jangan berbicara).
Karena itulah, Abu Bakar ash-Shiddiq sering memasukkan batu ke dalam mulutnya untuk mencegahnya berbicara.
Demikian pula halnya Ali bin Abi Thalib r.a pernah berpesan kepada putranya, Hasan, “Jagalah lidahmu karena kebinasaan manusia berada pada kata-katanya.”
Umar bin Khaththab r.a pernah berpidato,”Tuhan kalian telah berfirman,’Wahai anak Adam, mengapa kamu menganjurkan orang lain untuk melakukan kebaikan, sementara kamu sendiri tidak melakukannya? Wahai anak Adam, mengapa kamu mengingatkan orang lain, sementara kamu melupakan dirimu sendiri? Wahai anak Adam, mengapa kamu berdoa kepada-Ku, lantas kamu berlari menjauh? Jika doamu memang jujur maka tahanlah lidahmu, ingat-ingatlah segala dosa dan kesalahanmu, serta berdiamlah di rumahmu.”
Di dalam shuhuf Ibrahim a.s disebutkan : “Orang yang berakal harus mawas zaman, menekuni urusannya dan menjaga lidahnya.”
Malik bin Dinar berkata,”Ketika kamu merasakan hatimu keras dan rezekimu sempit, ketahuilah bahwa pasti kamu telah mengucapkan sesuatu yang tidak pantas kamu ucapkan!”
Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya,”Wahai anakku, siapa yang mengasihi akan dikasihi, siapa diam akan selamat, siapa yang melakukan kebaikan akan beruntung, siapa yang melakukan keburukan akan berdosa, dan siapa yang tidak memelihara lidahnya akan menyesal.”
Diriwayatkan bahwa semua anggota badan berkata kepada lidah,”Kami memohon –demi Allah– agar kamu berlaku benar. Sebab, jika kamu berlaku benar maka kami pun berlaku benar dan jika kamu menyimpang maka kami pun menyimpang.
Salah seorang ahli hikmah berkata,”Penjaralah lidahmu sebelum kamu dipenjarakan olehnya sehingga dirimu binasa. Tidak ada yang lebih pantas untuk dipenjara daripadalidah.Sebab, lidah jarang sekali berkata benar dan selalu terburu-buru menjawab.”
Ada pula ahli hikmah yang berkata,”Meninggalkan perkataan yang berlebihan membuahkan kata-kata hikmah. Meninggalkan pandangan yang berlebihan membuahkan kekhusyukan dan rasa takut. Meninggalkan makan berlebihan membuahkan wibawa. Meninggalkan syahwat terhadap yang haram membuahkan kecintaan pada Allah.  Meninggalkan prasangka buruk terhadap Allah menyingkirkan keraguan, kemusyrikan, dan kemunafikan. Meninggalkan pencarian kesalahan orang lain membuahkan kebaikan diri sendiri (catatan sebelumnya, sebagai penunjang, berjudul : Adab Suluk | Hanya Peduli terhadap Aib Diri Sendiri)**.
Ketahuilah bahwa mencari-cari aib orang lain justru dapat membongkar aib dan rahasia diri sendiri.
Allah telah melarang hal itu dalam kitab-Nya yang mulia : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwa-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”(QS Al-Hujurat [49]:12)
Bertaqwa-lah pada Allah, sibukkan dirimu dengan aibmu sendiri, alih-alih mencari-cari aib orang lain. Jangan seperti lalat yang tidak mau hinggap di tubuh yang sehat dan senantiasa mencari luka untuk dihinggapinya.
Siapa yang mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dan merusak harga diri mereka serta tidak memperhatikan aib diri sendiri, niscaya Allah akan mengirimkan seseorang yang akan membongkar aib dan keburukannya serta menampakkan segala kesalahannya di hadapan semua orang.
Orang berakal yang bahagia adalah yang memperhatikan aib diri sendiri, lalu sibuk memikirkannya, alih-alih memperhatikan aib orang lain ataupun segala sesuatu selain Allah Swt.
Rasulullah Saw meriwayatkan, bahwa Jibril a.s bercerita,”Allah Swt berfirman : Wahai Musa, ada lima kalimat yang kujadikan sebagai penutup kitab Taurat. Jika kamu mengamalkannya, kamu akan memperoleh manfaat dari ilmu yang terkandung dalam kitab itu. Jika kamu tidak mengamalkannya, ilmu yang terkandung di dalam kitab itu tidak akan bermanfaat bagimu.
Pertama : Wahai Musa, yakinlah akan rezeki yang telah dijamin untukmu selama kamu belum melihat perbendaharaan-Ku habis.
Kedua : Wahai Musa, jangan takut terhadap penguasa di muka bumi sebelum kamu melihat kekuasaan-Ku lenyap.
Ketiga : Wahai Musa, jangan mencari-cari aib seseorang selama kamu belum bersih dari aib sendiri.
Keempat : Wahai Musa, jangan pernah berhenti memerangi setan selama nyawamu belum dicabut.
Kelima : Wahai Musa, jangan merasa aman dari adzab meskipun kamu sudah melihat dirimu di surga.
Jangan sampai kamu mencela kelakuan seseorang karena khawatir Allah akan membuatmu melakukan hal yang sama dan justru menyelamatkan orang yang kamu cela itu. Namun, jangan tutup-tutupi seorang pendosa yang terang-terangan berbuat dosa. Jangan pula menutup-nutupi seseorang yang berbuat maksiat secara sembunyi-sembunyi, lantas setelah itu dia mengumbar perbuatannya itu.
Rasulullah Saw bersabda,”Apabila seseorang melihat aib saudaranya, lantas dia menutupinya, Allah Swt akan menutup aibnya dan memasukkannya ke surga.”
Beliau juga bersabda,”Siapa memaafkan kesalahan seorang muslim, Allah akan memaafkan kesalahannya pada Hari Kiamat.”(HR. Abu Daud no. 3460 dan Ibnu Majah no. 2199, al-Hakim menilainya shahih)
(* Sumber : Bahru ad-Dumu’, Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi; Ta’liq dan takhrij : Jamal Musthafa Mahmud);
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Luqman al-Hakim adalah orang yang banyak diam. Ia pernah ditanya tentang sikap yang telah menjadi kebiasaannya itu, lalu ia menjawab : “Allah tidak menciptakan telinga dua buah dan mulut hanya satu bagiku melainkan agar aku banyak mendengar dan sedikit bicara.”
Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya :
[1] “Hai anakku, kalau orang lain bangga dengan kata-kata indah mereka, tetapi kamu banggalah dengan keindahan diammu.”
[2] “Hai anakku, hendaknya kamu banyak diam, karena aku tidak pernah mengalami kekecewaan dan menyesal akibat diam. Tetapi, aku lebih sering kecewa dan menyesal akibat kata-kataku.”
[3] “Hai anakku, ilmu itu baik, namun jika ilmu disertai dengan kelembutan hati maka ia akan menjadi lebih baik. Diam itu baik, namun jika diiringi dengan kebijakan (hikmat) maka ia akan menjadi lebih baik.”
[4] “Hai anakku, sesungguhnya lisan itu adalah tempat paling berbahaya pada tubuh. Karena itu, berhati-hatilah jangan sampai keluar darinya sesuatu yang dapat membinasakanmu dan membuat Allah murka padamu.”
[5] “Hai anakku, lisan itu kunci kebaikan dan keburukan. Karena itu, selain untuk kebaikan, tutuplah lisanmu dengan rapat, sebagaimana kamu menutup kotak penyimpanan emas dan perak.”
[6] “Hai anakku, barangsiapa berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan manfaatnya. Barangsiapa berbuat kejahatan, maka ia akan menyesal. Dan barangsiapa tidak dapat mengatur perkataannya, maka ia akan merugi.”
[7] “Hai anakku, aku pernah memecah batu dan melewati batu karang yang terjal, tetapi aku tidak menemukan sesuatu yang lebih berat daripada ucapan yang buruk. Perkataan yang buruk menancap dalam hati, seperti halnya besi tercebur ke dalam air.”
(* Sumber : Hikmat Nomeh Luqman– Syaikh Muhammad Ray Syahri; Luqman Hakim Golden Ways, Menemukan Bening Mata Air Kearifan dan Kebijakan, 2012).[]
# Catatan-catatan sufistik lainnya, berjudul :
————————————-  # Judul-judul catatan lain, termuat dalam : Reblogged : DAFTAR ISI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar