Kamis, 25 Agustus 2011

"Oktober, Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia 2011"

Kementerian Pendidikan Nasioanal (Kemdiknas) kembali menggelar Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) pada 9-14 Oktober 2011. Olimpiade yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kemdiknas ini merupakan yang ketiga kalinya. OPSI adalah kegiatan sekaligus wahana pengembangan dan kompetisi dalam bidang penelitian bagi siswa SMA, baik yang bersifat pengungkapan (discovery) maupun yang sifatnya penemuan (invention).

Kepala Seksi Peserta Didik, Subdit Kelembagaan dan Peserta Didik, Suharlan mengatakan, tujuan diselenggarakan OPSI adalah untuk menyeleksi siswa-siswi yang memiliki bakat dalam bidang penelitian serta menumbuhkembangkan budaya meneliti sedini mungkin, khususnya di kalangan siswa-siswi SMA.

“Dengan kegiatan ini, diharapkan siswa semakin termotivasi untuk meneliti berbagai bidang ilmu sesuai dengan minat dan bakatnya,” kata Suharlan, Rabu (24/8/2011) malam, di Jakarta.

Dalam kompetisi ini terdapat tiga bidang yang dilombakan, yaitu Sains Dasar (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi), Sains Terapan (Informatika/Komputer, pertanian, kesehatan, bioteknologi pangan, lingkungan hidup), dan IPS/Humaniora (bahasa dan sastra Indonesia, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, arkeologi, psikologi pendidikan).

OPSI diawali dengan proses pengiriman makalah penelitian yang ditujikan kepada Direktorat Pembinaan SMA. Makalah yang masuk secara keseluruhan mencapai sekitar 1300 makalah yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Selanjutnya, makalah yang diterima diseleksi oleh tim juri yang merupakan para dosen perguruan tinggi negeri di Indonesia dengan latar belakang berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Seleksi makalah telah dilakukan pada 18 sampai 21 Austus 2011 di Bandung, Jawa Barat. Dari seleksi tersebut, tim juri menghasilkan kesepakatan dengan memilih 30 makalah terbaik dari masing masing bidang yang dilombakan. Makalah yang terpilih dan berhasil lolos akan mengikuti gelar poster dan presentasi penelitian di Jakarta pada 9-14 Oktober mendatang.

Suharlan menambahkan, tahun ini terjadi peningkatan jumlah makalah yang masuk ke Direktorat Pembinaan SMA. Jika tahun lalu hanya sekitar 900, makalah tahun ini meningkat menjadi 1300 makalah.

“Ini merupakan suatu peningkatan yang luar biasa. Terbukti bahwa minat dan bakat mahasiswa dalam bidang penelitian semakin tahun semakin berkembang,” kata Suharlan.


Sumber Kompas

"Presiden SBY Ajak Contoh Sikap Toleransi Nabi Muhammad SAW"

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak seluruh masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam untuk mencontoh Rasulullah Muhammad SAW yang mengedepankan sikap toleran dan anti kekerasan dalam kehidupan sehari-hari sehingga persatuan antarumat terpelihara dengan baik.


"Kita umat Islam generasi yang sekarang dan akan datang haruslah umat yang toleran dan tentunya Rasul telah memberikan contoh kehidupan yang anti kekerasan, menjauhi kekerasan. Pendek kata semua jawaban sudah ada pada Islam, apakah kita sudah menjalankan dan melaksanakannya," kata Presiden saat berbuka puasa dan bersilaturahmi di Masjid Biru At Tohirin Ciawi, Bogor, Senin (22/8) petang dalam rangkaian Safari Ramadhan.

Kepala negara mengatakan untuk mewujudkan masyarakat yang baik maka hendaknya setiap umat beragama menjalankan kehidupannya sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

"Khusus untuk umat Islam telah jelas disamping menjalankan rukun Islam juga menjalankan rukun iman. Kita mengucapkan syahadat, puasa, shalat, zakat dan haji bagi yang mampu. Itu yang utama kemudian dalam bermasyarakat kita menjalankan kehidupan yang Islami. Sehingga dunia benar-benar merasakan bahwa Islam adalah pembawa rahmat. Saya mengajak umat Islam benar-benar menjaga kehidupan umat yang religius dan kehidupan umat yang Islami," bebernya.

Dalam kesempatan itu, Presiden yang didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono, sejumlah menteri dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriyawan juga mengatakan pentingnya menjaga stabilitas keamanan dan stabilitas politik sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai dan menyejahterakan masyarakat.

"Kalau tanah air kita damai, stabil masyarakatnya tenteram maka perekonomian bisa tumbuh," papar SBY.

Presiden mengatakan pemerintah terus bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pembangunan di berbagai bidang. Karena itu Presiden meminta dukungan semua pihak dan kalangan agar semua program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat dapat berjalan sehingga kesejateraan itu bisa terwujud.

Presiden didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri melakukan safari Ramadhan ke sejumlah daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga 26 Agustus mendatang.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara

"Presiden Yudhoyono Tinjau SDN Wanareja Cilacap"

Cilacap (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau Sekolah Dasar Negeri (SDN) Wanareja 01, Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis, sebagai salah satu bagian rangkaian kunjungan Safari Ramadhan ke sejumlah tempat.

Presiden yang didampingi oleh Ibu Negara Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono saat tiba di sekolah tersebut langsung disambut oleh sejumlah guru dan aparat pemerintahan setempat.

Presiden dan Ani Yudhoyono sempat berkeliling dan meninjau kondisi sekolah, terutama ruang kelas.

Kepala Negara menjelaskan, salah satu hal utama yang harus diperhatikan adalah kebersihan lingkungan sekolah.

Meski ada sejumlah kerusakan, siswa akan bisa belajar dengan nyaman jika kebersihan lingkungan sekolah terjaga.

Pemerintah, kata presiden, akan memperhatikan setiap kerusakan gedung sekolah. Presiden akan segera mengeluarkan inpres tentang perbaikan gedung SD dan SMP yang rusak.

Kepala Sekolah SDN Wanareja 01, Sulastri mengatakan, sekolah itu didirikan pada 1904 di atas lahan seluas 802 meter persegi.

Jumlah murid sekolah itu mencapai 209 anak. Sebagian besar bangunan sekolah itu terbuat dari bambu yang masih tertata rapi dan bersih.

Namun demikian, masih ada sejumlah ruang yang rusak, antara lain tiga ruang kelas dan perpustakaan.

Sulastri juga menyebut masih ada kekurangan sarana dan prasarana belajar, antara lain meja, kursi, komputer, dan matras.

Selain mengunjungi SDN Wanareja, Presiden dan rombongan juga akan meninjau Pasar Benih Ikan di Kecamatan Majenang, Cilacap; lokasi panen Padi Sampang di Kecamatan Sampang, Cilacap; serta buka puasa bersama para petani di lapangan sepak bola Karangmangu, Batur Raden, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas.

Sumber ANTARA

"Tantangan Mengajar di Era Digital"

Dosen dan konsultan BrainFit Singapura, Regina Chin mengatakan, para guru harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dalam menerapkan metode pembelajaran. Saat ini, para siswa tak terlepas dari sejumlah perangkat dan kemajuan teknologi. Menurutnya, penyesuaian penting agar guru bisa mengikuti pola pikir para siswanya. Hal itu dikatakan Regina saat mengisi seminar A Parenting and Educators Workshop “Different Child, Different Brain, Different Needs” di Binus Internasional School, Simprug, Jakarta, Rabu (24/8/2011).

Workshop ini memberikan pertanyaan mendasar bagi para guru, yaitu “Is your school ready for 21st Century Student?”.

Regina memberikan contoh, dalam mengajar bahasa Inggris, setidaknya para guru harus memberikan dua kemampuan tambahan pada siswanya, yaitu viewing dan representing. Mengapa? Ia menjelaskan, anak-anak atau siswa memiliki begitu banyak gambar di kepalanya. Mereka cenderung visual. Sehingga, tak cukup hanya belajar dengan membaca saja. Para siswa harus diperlihatkan gambaran nyatanya.

"Sebagai guru, kita juga harus ‘belajar’ bahasa anak-anak. Mereka familiar sekali dengan Short Message Service (SMS), blogging, e-mail, dan yang sekarang sedang semarak di US adalah vlogging alias video blogging, yaitu merekam aktifitas sehari-hari dengan kamera video dan diunggah ke dalam blog pribadi. Kita harus ikut belajar bahasa-bahasa SMS dan lainnya, agar kita tidak ketinggalan dan dibodohi oleh murid-murid” papar Regina.

Selain itu, menurutnya, para siswa ini juga sudah lebih kritis pemikirannya. Mereka pasti akan bertanya lebih mendalam jika guru tidak menjelaskan secara detil. Oleh karena itu, sebagai pengajar, Regina mengatakan, seorang guru harus melakukan inter-disciplinary approach alias pendekatan lintas bidang.

“Temukan arti dan maksud mendalam dari mata pelajaran yang kita ajarkan, lakukan hal-hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Jangan sampai mereka bosan dengan mata pelajaran tersebut," ujarnya.

Para pengajar juga diingatkan untuk melakukan refleksi atas pola pengajaran yang telah diterapkan, menggali dan menggali apa yang bisa dilakukan.

“Kita harus menciptakan kegembiraan di dalam kelas maupun sekolah. Dengan begitu, anak-anak akan semangat dan senang pergi ke sekolah!” ujar Regina.

Sumber KOMPAS

"Sekolah Rusak, Presiden Bakal Keluarkan Inpres"

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) mengenai perbaikan sarana dan prasarana sekolah yang rusak untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan. Juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha kepada wartawan di sela-sela Safari Ramadhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cianjur, Selasa (23/8) mengatakan, selain mengeluarkan Inpres, Presiden juga telah memerintahkan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh untuk memberikan bantuan terkait hal tersebut.

"Presiden telah menginstruksikan Mendiknas agar memberikan bantuan pendidikan nasional sekaligus menyampaikan harapan kepada DPR dan DPD RI untuk turut memperhatikan perbaikan pembangunan infrastruktur sekolah dasar dan SMP yang rusak di seluruh Indonesia," kata Julian dalam pesan singkatnya kepada wartawan.

Ia menambahkan, "Presiden akan mengeluarkan Inpres terkait." Pernyataan Presiden itu, menurut Julian, dikatakan Kepala Negara usai meninjau SDN Tanjung Sari 3, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Selasa siang. "Presiden berpesan kepada para guru dan siswa, agar kebersihan diutamakan dan diperhatikan. Bangunan boleh sudah lama namun kebersihan tetap harus diperhatikan agar membuat semangat belajar siswa menjadi lebih baik," kata Julian.


Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara, Republika

"Dasar Pengelompokan Model Pembelajaran Matematika SD"

A. Pengertian Model-model Pembelajaran
Model mengajar adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Model pengajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pengajaran, dan membimbing pengajaran di suatu kelas.

B. Dasar Pengelompokan Model Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Agar model-model mengajar dapat dipahami secara cermat sehingga dapat diaplikasikan secara tepat maka diadakan pengklasifikasian model mengajar secara umum. Upaya pengklasifikasian model mengajar harus didasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
1. Pengaturan guru dan siswa
Pengaturan ini berkaitan dengan guru apakah guru kelas atau bidang studi, apakah guru tersebut merupakan guru tim atau perorangan. Selain itu berkaitan dengan apakah hubungan guru dan siswa terjadi secara tatap muka atau dengan perantara media, sistem belajarnya secara klasikal, kelompok atau perorangan akan menentukan jenis model mengajar yang digunakan.

2. Struktur peristiwa belajar-mengajar
Struktur peristiwa belajar mengajar dapat terjadi secara tertutup dan terbuka. Peristiwa belajar mengajar yang tertutup desain telah ditentukan dan digariskan secara baku dan guru tidak mau menyimpang dari rencana, sedangkan struktur peristiwa belajar yang bersifat terbuka tujuan khusus, materi, serta prosedur yang ditempuh untuk mencapainya ditentukan sementara kegiatan belajar mengajar berlangsung.

3. Peranan guru dan siswa dalam mengolah pesan
Pesan yang akan disampaikan guru diolah tuntas oleh guru sebelum disampaikan kepada siswanya atau akan dicari bersama-sama dengan siswa penyelesaiannya. Pesan yang telah diolah tuntas oleh guru bersifat ekspositorik, biasanya digunakan metode ceramah sedangkan pesan yang dikompromikan dengan siswa disebut pesan heuristik atau hipotetik. Pesan yang disampaikan secara heuristik atau hipoteik biasanya mencari dan menemukan sendiri atau metode discovery dan inquiry.

4. Proses pengolahan pesan
Proses pengolahan pesan ini dapat bertolak dari contoh-contoh yang akan sampai kepada kesimpulan atau dapat pula bertolak dari gambaran umum yang kemudian sampai kepada contoh-contoh. Pengolahan pesan dari contoh-contoh yang bersifat konkrit kepada penemuan prinsip/kesimpulan atau bergerak dari cara berpikir khusus ke umum dinamakan strategi belajar mengajar induktif sedangkan untuk kebalikannya yaitu cara berpikir mulai dari umum ke khusus dinamakan cara berpikir deduktif.

5. Tujuan-tujuan belajar
Tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai apakah bersifat intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik, sikap dan nilai-nilai atau gabungan dari kesemuanya.

"Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning "

a. Hakikat CTL
“Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit-demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat” (Nurhadi dkk, 2004:13).

Contextual Teaching Learning merupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi, maupun kultural. Sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya (Hanafiah&Suhana, 2009:67).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan. Siswa bekerja dan mengalami, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi atau proses pembelajaran lebih diutamakan dari pada hasil dari pembelajaran.

Menurut Sanjaya (2009:261-262) karakteristik CTL antara lain sebagai berikut.
• CTL menempatkan siswa sebagai subyek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran.
• Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, saling menerima dan memberi.
• Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak.
• Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman.
• Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri.
• Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri.
• Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki siswa selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya.
• Dalam CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka.
• Dalam CTL, pembelajaran bisa terjadi dimana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan.
• Oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara.
CTL menekankan pada berpikir lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan. Berikut ini adalah enam unsur kunci Pembelajaran Kontekstual (Trianto, 2007:102).
• Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan hidup mereka.
• Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana apa yang dipelajari diterapkan dalam tatanan-tatanan lain dan fungsi-fungsi pada masa sekarang dan akan datang.
• Berpikir tingkat lebih tinggi: siswa dilatih untuk menggunakan berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, atau memecahkan suatu masalah.
• Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: konten pengajaran berhubungan dengan suatu rentang dan beragam standar lokal, negara bagian, nasional, asosiasi, dan atau industri.
• Responsif terhadap budaya: pendidik harus menghormati dan memahami nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan- kebiasaan siswa, sesama rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka mendidik. Budaya-budaya ini, dan hubungan antar budaya ini mempengaruhi bagaimana cara pendidik mengajar.
• Penilaian autentik: penggunaan berbagai macam stretegi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari siswa.

b. Komponen CTL
Menurut Trianto (2007:105) pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya. Berikut ini penjelasannya.

• Konstruktivisme (Contructivism)
Salah satu landasan teoritik pendidikan modern termasuk CTL adalah teori pembelajaran konstruktivis. Pada pendekatan ini menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Landasan berpikir konstruktivisme lebih menekankan pada strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.

• Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi yang diajarkannya. Siklus inkuiri terdiri dari: observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data dan penyimpulan.

Menurut Sanjaya (2009:265) langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut.
1. Merumuskan masalah
2. Mengajukan hipotesis
3. Mengumpulkan data
4. Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
5. Membuat kesimpulan

• Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang selalu diawali dari ‘bertanya’. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Kegiatan tanya jawab dilakukan oleh guru dan siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, sedangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.

• Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun lingkungan yang terjadi secara alamiah. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar satu sama lain. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.

• Pemodelan (Modeling)
Menurut Sanjaya (2009) pemodelan adalah sesuatu yang dapat ditiru oleh siswa untuk memudahkan, memperlancar, membangkitkan ide dalam proses pembelajaran. Model dapat diperoleh dari guru, siswa atau dari luar sekolah yang relevan dengan konteks dan materi yang sedang menjadi topik bahasan.
Pemodelan dalam konsep ini adalah kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajar atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model.

• Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu dan merupakan respon terhadap kejadian serta aktivitas atau pengetahuan baru yang diterima atau dilakukan. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
Refleksi bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Menurut Hanafiah&Suhana (2009:75) Pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu agar siswa melakukan refleksi yang diwujudkan dalam bentuk berikut.
1. Pertanyaan langsung tentang yang diperoleh hari itu
2. Jurnal belajar dibuku pribadi siswa
3. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.

• Penilaian Autentik (Authentic Assesment)
Assesmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar harus menekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.

c. Penerapan CTL di Kelas
Sesuai dengan faktor kebutuhan individual siswa, maka untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran dan pengajaran kontekstual di dalam kelas menurut Hanafiah&Suhana (2009:72) guru harus.
1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental (developmentally appropriate) siswa.
2. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups).
3. Mempertimbangan keragaman siswa (diversity of students).
4. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dengan tiga karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).
5. Memperhatikan multiintelegensi (multiple intelligences) siswa.
6. Menggunakan teknik bertanya (questioning) yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
7. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru (contructivism).
8. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry) agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta).
9. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
10. Menciptakan masyarakat belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar siswa.
11. Memodelkan (modeling) sesuatu agar siswa dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru.
12. Mengarahkan siswa untuk merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
13. Menerapkan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).

"Model Pembelajaran RME atau Realistic Mathematics Education"

a. Pengertian RME
Pembelajaran matematika realistik adalah atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.

Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata.

b. Komponen RME
Dalam pembelajaran matematika realistik ada tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran.
• Reinvention dan Progressive Mathematization (“penemuan terbimbing’ dan proses matematisasi yang makin meningkat). Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing).

• Didactical phenomenology (Fenomena yang mengandung muatan didaktik). Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasarkan prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing. Topik-topik matematika yang disajikan atau masalah kontekstual yang akan diangkat dalam pembelajaran harus mempertimbangan dua hal yakni aplikasinya (kemanfaatannya) serta kontribusinya untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya. Terkait dengan hal di atas, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab yaitu :bagaimana kita mengidentifikasi fenomena atau gejala yang relevan dengan konsep dan gagasan matematika yang akan dipelajari siswa, bagaimana kita harus mengkonkritkan fenomena tau gejala tersebut, apa tindakan didaktik yang diperlukan untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan seefisien mungkin.

• Self-developed models (Pembentukan model oleh siswa sendiri), Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa. Dengan generalisasi dan formalisasi model tersebut akan menjadi berubah menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi pengetahuan dalam formal matematika.

Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik dan komponen sebagai berikut.
1. The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

c. Penerapan Model RME di Kelas
Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.

"Model Pembelajaran Investigasi"

a. Pengertian model pembelajaran investigasi
Istilah investigasi mulai diperkenalkan dengan diterbitkannya laporan dari Cockcroft (dalam Evans, 1987) menyatakan bahwa pembelajaran matematika harus melibatkan aktivitas-aktivitas berikut:
1. Eksposisi (pemaparan) guru
2.Diskusi diantara siswa sendiri, ataupun antara siswa dan guru
3. Kerja praktek
4. Pemantapan dan latihan pengerjaan social
5. Pemacahan masalah
6. Investigasi.
Investigasi merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan. Kegiatan belajar dimulai dengan diberikan ma
Terbitkan Entri
salah-masalah yang diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajar selanjutnya cenderung terbuka, artinya tidak terstruktur secara ketat oleh guru, yang dalam pelaksanaannya mengacu pada berbagai teori investigasi. Menurut Joyce, Weil dan Calhoun( 2000: 53), model ini sangat mudah disesuaikan dan komprehensip yang menggabungkan tujuan-tujuan akademik investigasi, integrasi sosial dan proses pembelajaran sosial, dan dapat digunakan dalam semua bidang studi, dalam semua tingkat usia. Jadi pembelajaran investigasi adalah model pembelajaran yang perencanaannya disesuaikan agar siswa bekerja dalam kelompok, dengan menggunakan penemuan secara kooperatif.

b. Langkah-Langkah Pembelajaran Investigasi
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran investigasi ini adalah sebagai berikut.
1. Memilih Topik. Para siswa dalam kelompok diberi kesempatan untuk memilih subtopik yang akan diinvestigasi dari suatu materi tertentu yang telah dipersiapkan guru. Sebelumnya, guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok yang heterogen menurut kemampuan akademik, ras, budaya, suku, dan jenis kelamin. Setiap kelompok beranggotakan 3-5 orang, dimana tiap-tiap kelompok membahas materi yang berbeda-beda.
2. Merencanakan Kerjasama. Para siswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah 1 di atas.
3. Impelementasi. Siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah 2. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
4. Analisis dan Sintesis. Para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah 3 dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
5. Penyajian Hasil Akhir. Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
6. Evaluasi. Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.

"Model Pembelajaran Open-Ended"

a. Pengertian Model Pembelajaran Open-Ended
Sudiarta (Poppy, 2002:2) mengatakan bahwa secara konseptual open-ended problem dapat dirumuskan sebagai masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Contoh penerapan masalah Open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada jawaban (hasil) akhir. Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended diawali dengan memberikan masalah terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan mengantarkan siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan banyak jawaban yang benar, sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru.

Tujuan dari pembelajaran Open-ended problem menurut Nohda (Suherman, dkk, 2003;124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki setiap siswa. Pendekatan Open-ended memberikan kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan melalui proses pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan pendekatan Open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mendorong siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.

b. Komponen
Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended mengharapkan siswa tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Suherman, dkk (2003) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematika dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut:
1. Kegiatan siswa harus terbuka. Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak mereka.
2. Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir. Kegiatan matematika adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya.
3. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan. Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu. Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan matematika yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah. Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.

c. Penerapan
Pada tahap ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan rencana pembelajaran yang baik adalah sebagai berikut:
1. Tuliskan respon siswa yang diharapkan. Pembelajaran matematika dengan pendekatan Open-ended, siswa diharapkan merespon masalah dengan berbagai cara sudut pandang. Oleh karena itu, guru harus menyiapkan atau menuliskan daftar antisipasi respons siswa terhadap masalah. Kemampuan siswa terbatas dalam mengekpresikan ide atau pikirannya, mungkin siswa tidak akan mampu menjelaskan aktivitasnya dalam memecahkan masalah itu. Tetapi mungkin juga siswa mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, antisipasi guru membuat atau menuliskan kemungkinan repsons yang dikemukakan siswa menjadi penting dalam upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan masalah sesuai dengan cara kemampuannya.
2. Tujuan dari masalah itu diberikan kepada siswa harus jelas. Guru memahami dengan baik peranan masalah itu dalam keseluruhan rencana pembelajaran. Masalah dapat diperlakukan sebagai topik yang tertentu, seperti dalam pengenalan konsep baru kepada siswa, atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajara siswa. Berdasarkan pengalaman, masalah Open-ended efektif untuk pengenalan konsep baru atau rangkuman kegiatan belajar.
3. Sajikan masalah semenarik mungkin bagi siswa.Konteks permasalahan yang diberikan atau disajikan harus dapat dikenal baik oleh siswa, dan harus membangkitkan keingintahuan serta semangat intelektual siswa. Oleh karena masalah Open-ended memerlukan waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan strategi pemecahannya, maka masalah itu harus mampu menarik perhatian siswa.
4. Lengkapi prinsip formulasi masalah, sehingga siswa mudah memahami maksud masalah itu. Masalah harus diekspresikan sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan menemukan pendekatan pemecahannya. Siswa dapat mengalami kesulitan, bila eksplanasi masalah terlalu singkat. Hal itu dapat timbul karena guru bermaksud memberikan terobosan yang cukup kepada siswa untuk memilih cara dan pendekatan pemecahan masalah. Atau dapat pula diakibatkan siswa memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pengalaman belajar karea terbiasa megikuti petunjuk-petunjuk dari buku teks.
5. Berikan waktu yang cukup bagi siswa untuk mengekplorasi masalah. Terkadang waktu yang dialokasikan tidak cukup dalam menyajikan masalah, memecahkannya, mendiskusikan pendekatan dan penyelesaian,, dan merangkum dari apa yang telah dipelajari siswa. Karena itu, guru harus memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk mengekplorasi masalah. Berdiskusi secara aktif antar sesama siswa dan antara siswa dengan guru merupakan interaksi yang sangat penting dalam pembelajaran dengan pendekatan Open-ended.

"Model Pembelajaran Open-Ended"

a. Pengertian Model Pembelajaran Open-Ended
Sudiarta (Poppy, 2002:2) mengatakan bahwa secara konseptual open-ended problem dapat dirumuskan sebagai masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Contoh penerapan masalah Open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada jawaban (hasil) akhir. Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended diawali dengan memberikan masalah terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan mengantarkan siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan banyak jawaban yang benar, sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru.

Tujuan dari pembelajaran Open-ended problem menurut Nohda (Suherman, dkk, 2003;124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola pikir matematika siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki setiap siswa. Pendekatan Open-ended memberikan kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan melalui proses pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan pendekatan Open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mendorong siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.

b. Komponen
Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended mengharapkan siswa tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Suherman, dkk (2003) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematika dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut:
1. Kegiatan siswa harus terbuka. Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak mereka.
2. Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir. Kegiatan matematika adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya.
3. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan. Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu. Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan matematika yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah. Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.

c. Penerapan
Pada tahap ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan rencana pembelajaran yang baik adalah sebagai berikut:
1. Tuliskan respon siswa yang diharapkan. Pembelajaran matematika dengan pendekatan Open-ended, siswa diharapkan merespon masalah dengan berbagai cara sudut pandang. Oleh karena itu, guru harus menyiapkan atau menuliskan daftar antisipasi respons siswa terhadap masalah. Kemampuan siswa terbatas dalam mengekpresikan ide atau pikirannya, mungkin siswa tidak akan mampu menjelaskan aktivitasnya dalam memecahkan masalah itu. Tetapi mungkin juga siswa mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, antisipasi guru membuat atau menuliskan kemungkinan repsons yang dikemukakan siswa menjadi penting dalam upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan masalah sesuai dengan cara kemampuannya.
2. Tujuan dari masalah itu diberikan kepada siswa harus jelas. Guru memahami dengan baik peranan masalah itu dalam keseluruhan rencana pembelajaran. Masalah dapat diperlakukan sebagai topik yang tertentu, seperti dalam pengenalan konsep baru kepada siswa, atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajara siswa. Berdasarkan pengalaman, masalah Open-ended efektif untuk pengenalan konsep baru atau rangkuman kegiatan belajar.
3. Sajikan masalah semenarik mungkin bagi siswa.Konteks permasalahan yang diberikan atau disajikan harus dapat dikenal baik oleh siswa, dan harus membangkitkan keingintahuan serta semangat intelektual siswa. Oleh karena masalah Open-ended memerlukan waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan strategi pemecahannya, maka masalah itu harus mampu menarik perhatian siswa.
4. Lengkapi prinsip formulasi masalah, sehingga siswa mudah memahami maksud masalah itu. Masalah harus diekspresikan sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan menemukan pendekatan pemecahannya. Siswa dapat mengalami kesulitan, bila eksplanasi masalah terlalu singkat. Hal itu dapat timbul karena guru bermaksud memberikan terobosan yang cukup kepada siswa untuk memilih cara dan pendekatan pemecahan masalah. Atau dapat pula diakibatkan siswa memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pengalaman belajar karea terbiasa megikuti petunjuk-petunjuk dari buku teks.
5. Berikan waktu yang cukup bagi siswa untuk mengekplorasi masalah. Terkadang waktu yang dialokasikan tidak cukup dalam menyajikan masalah, memecahkannya, mendiskusikan pendekatan dan penyelesaian,, dan merangkum dari apa yang telah dipelajari siswa. Karena itu, guru harus memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk mengekplorasi masalah. Berdiskusi secara aktif antar sesama siswa dan antara siswa dengan guru merupakan interaksi yang sangat penting dalam pembelajaran dengan pendekatan Open-ended.

"Model Pembelajaran Berbasis Masalah"

a. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah .

Forgaty(1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.

PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.

Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

b. Penerapan
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang diharus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa/mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa/mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Siswa/mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.

Sumber Sekolah Dasar

"Model Pembelajaran Problem Possing"

a. Pengertian Model Pembelajaran Problem Possing
Problem posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal tersebut.Dalam pembelajaran matematika, problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang strategis. Siswa harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara mendetil. Hal tersebut akan dicapai jika siswa memperkaya khazanah pengetahuannya tak hanya dari guru melainkan perlu belajar secara mandiri. Problem posing dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika. Suryanto menjelaskan tentang problem posing adalah perumusan soal agar lebih sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini terutama terjadi pada soal-soal yang rumit. Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri.

Sumber Sekolah Dasar

b. Prinsip-prinsip
Guru matematika dalam rangka mengembangkan model pembelajaran problem posing (pengajuan soal) yang berkualitas dan terstruktur dalam pembelajaran matematika, dapat menerapkan prinsip-prinsip dasar berikut.
• Pengajuan soal harus berhubungan dengan apa yang dimunculkan dari aktivitas siswa di dalam kelas.
• Pengajuan soal harus berhubungan dengan proses pemecahan masalah siswa
• Pengajuan soal dapat dihasilkan dari permasalahan yang ada dalam buku teks, dengan memodifikasikan dan membentuk ulang karakteristik bahasa dan tugas.

b. Penerapan
Penerapan model pembelajaran problem posing
• guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan.
• Guru memberikan latihan soal secukupnya.
• Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula dilakukan secara kelompok.
• Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa.
• Guru memberikan tugas rumah secara individual.(Suyitno, 2004:31-32).

"Brain Fitness untuk Melatih Otak Anak"


Kali ini kita akan membahas Brain Fitness untuk membuat kerja otak anak menjadi lebih baik. Dalam seminar parenting dan educators workshop "Different Child, Different Brain, Different Needs", di Jakarta, seperti dikutip dari kompas.com. Lecturer and Consultant BrainFit Studio Singapura, Regina Chin mengatakan, masih ada harapan untuk membuat kerja otak anak menjadi lebih baik. Salah satunya dengan memahami pentingnya brain fitness serta kognitif profil anak bagi orangtua.

Brain fitness adalah kegiatan melatih otak untuk mempunyai kemampuan yang optimal dan menggali semua potensi. Ibarat mendaki sebuah gunung, maka dibutuhkan kemampuan lebih. Sama halnya dengan otak. Banyak sel di dalamnya yang dapat kita latih untuk dapat bekerja lebih cepat dan lebih tajam lagi. Karena pada dasarnya otak kita semua telah siap jika hanya untuk melakukan aktivitas keseharian.

Sebagai orangtua, kita mau memberitahukan bahwa ada harapan, ada cara-cara yang bisa membantu anak-anak menjadi lebih baik sedini mungkin. Ada banyak cara untuk melatih kekuatan otak, dan semua harus disesuaikan dengan kelemahannya. Misalnya anak-anak yang mengalami kesulitan dalam membaca atau susah berkomunikasi, maka anak tersebut harus terus berlatih, yaitu latihan penalaran supaya otak anak-anak dapat jauh lebih tajam dan bisa berkomunikasi dengan baik.

Tetapi jika kelemahannya disebabkan hal lain, misalnya sulit berkonsentrasi atau koordinasinya kurang, tentu ada jenis latihan lain. Intinya adalah brain pilar, visual, audithory, sensor motorik, attention and memory, serta social emotional.

Dalam seminar itu, Regina juga menyinggung soal visual tracking, yaitu kemampuan visual kita untuk melacak tentang apa yang kita lihat. Bukan hanya apa yang ada di depan, tetapi juga di semua sisi yang secara tidak sadar sebenarnya sudah kita lacak dengan cepat. Ia mengungkapkan, setiap orang mempunyai kemampuan melacak yang berbeda-beda, jika kemampuan melacak seorang anak tergolong lambat, maka itu akan berdampak anak tersebut tidak bisa memahami bacaan secara cepat dan atau bahkan anak tersebut menjadi tidak mengerti dengan apa yang dibacanya.

“Misalnya saat kita mengemudikan mobil, kita melihat keadaan di belakang, di samping dan di situlah kemampuan visual tracking diperlukan. Intinya adalah mengajak anak untuk berkomunikasi sebanyak mungkin. Karena jika kuat di bahasa, terutama mendengar maka itulah kunci keberhasilan akademik anak-anak.”

Sumber: Kompas